Living Qur’an: Bid’ah dan Kecelakaan Sejarah dalam Studi Al-Qur’an
Oleh:Egi Tanadi Taufik
Kajian the living Qur’an atau “Studi Living Qur’an” adalah nomenklatur populer yang dipakai untuk menyebutkan “penelitian yang memberikan perhatian pada respon masyarakat terhadap teks al-Qur’an dan hasil penafsiran seseorang” (Syamsuddin: 2007, hlm. xiv; 2019, hlm. 135). Buku sakti Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis (2007) adalah rekaman hasil eksperimen para pengajar QH dalam mengadopsi teori sosial-budaya pada studi Al-Qur’an dan hadis. Penulis mencatat sekurang-kurangnya 256 penelitian yang bersandar dengan mesra (uncritical/scholarly lover) pada bahu “Living Qur’an” dalam 13 tahun terakhir.
Wacana Living Qur’an lahir di Yogyakarta pada tahun 2005an setelah penyelenggaraan seminar FKMTHI yang menghadirkan Muhammad Mansur, Ahmad Rafiq, dan Hamam Faizin dengan tema “Living Qur’an: Al-Qur’an dalam Kehidupan Sehari-Hari.” Faizin menulis artikel “Living Qur’an: Sebuah Tawaran” di Kolom Jaringan Islam Liberal 9 Januari 2005 dan Jawa Pos 10 Januari 2005 sebagai hasil perenungan dari diskusi tentang Living Qur’an, kemudian tulisan itu ditanggapi oleh Islah Gusmian di Jawa Pos 16 Januari 2005 lewat artikel berjudul “Al-Qur’an dalam Pergumulan Muslim Indonesia.”
“Workshop Metodologi Living Qur’an dan Hadis” tanggal 8-9 Agustus 2006 adalah embrio buku Metopen LQH (2007). Workshop ini dihadiri oleh sejumlah dosen Jurusan Tafsir-Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Yogyakarta dengan semangat membangun suatu paradigma integratif-interkonektif dalam studi Al-Qur’an dan hadis (Faizin: 2012). Living Qur’an adalah produk “hebat” dari Program Integrasi-Interkoneksi Keilmuan dari M. Amin Abdullah, Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta periode 2001-2010 (wawancara personal, 20 Oktober 2020). Abdullah mengehendaki agar Fakultas Ushuluddin mampu melakukan penelitian lapangan, tidak terjebak di perpustakaan dengan bersandar pada ilmu agama klasik (ulūm ad-dīn) semata, dan mengadopsi pendekatan sosial-humaniora “sehingga kontribusi Islam terhadap pemecahan persoalan publik dan kebangsaan semakin luas” (Kompas, 17 Maret 2004).
Abdullah bukan sarjana pertama yang mendorong penghapusan dikotomi antara ilmu pengetahuan dan ilmu agama. Jauh sebelumnya, Musa Asy’arie (1993) sempat menyinggung bahwa IAIN gagal mempertautkan ilmu agama, ilmu umum, dan semangat religiusitas sehingga para alumni IAIN hanya mendudukkan ilmu agama sebagai doktrin dan ajaran kuliah. Guna mengatasi persoalan tersebut, para dosen muda IAIN Yogyakarta didorong untuk mengambil studi lanjut di perguruan tinggi Eropa-Amerika serta bereksperimen secara metodologis untuk mempertautkan antara ilmu Al-Qur’an dan teori-teori sosial humaniora (Baidowi & Wahyudi: 2005, Abbas: 2021).
Dengan menimbang “Living Qur’an” sebagai eksperimen metodologis, Metopen LQH (2007) menghasilkan sembilan perspektif berbeda dari sembilan penulis yang hendak menjawab soal; Apa yang dimaksud dengan the living Qur’an and hadith?; Bagaimana mekanisme penelitian LQH?; Sejauh manakah metopen LQH dapat berkembang dan berkontrubusi bagi penyegaran studi Al-Qur’an dan hadis?
Pertanyaan-pertanyaan ini barangkali tidak hanya muncul di tengah kesembilan penulis Metopen LQH tetapi juga menyerang para pembaca buku daras ini, terutama mereka yang hendak menerapkan metode penelitian Living Qur’an dalam riset tugas akhir dan publikasi ilmiah sebagai persyaratan administratif. Dalam kasus yang lebih sederhana, penelitian Living Qur’an dapat pula lahir dari iktikad menuntaskan tugas dosen di mata kuliah “Al-Qur’an dan Sosial-Budaya” atau yang berganti nama menjadi “Living al-Qur’an” di tingkat S1 IAT dan “Metode Penelitian Sosial (Living al-Qur’an dan Hadis)” di tingkat S2 IAT dengan beberapa tenaga ahli kenamaan yang pernah mengampu mata kuliah tersebut, antara lain Ahmad Rafiq, Abdul Mustaqim, Ahmad Baidowi, Abd. Halim, Saifuddin Zuhri, Subkhani Kusuma Dewi, Yuyun Sunesti, dan Muhammad Mansur.
Saya mencatat bahwa kedelapan dosen tersebut memiliki desain kurikulum dan metode penelitian Living Qur’an yang berbeda antar satu dan lainnya. Pembaca dapat melihat kasus tulisan Ahmad Rafiq di LQ, misalnya, yang menyebut Living Qur’an sebagai fenomena apropriasi masyarakat terhadap Al-Qur’an yang bersifat heterogen dan terus-menerus berubah, terutama bila diamati secara genealogis lewat pelacakan pada transmisi dari pengetahuan dari tulisan, lisan, dan perbuatan. Transmisi-transmisi keilmuan Al-Qur’an mencerminkan idealitas sinkronik dari masyarakat pembacanya, sekaligus “meniscayakan transformasi dan kemunculan perubahan bentuk pengetahuan dan praktik terhadap Al-Qur’an dari satu subjek ke subjek yang lain, atau dari satu masa ke masa sesudahnya” (Rafiq: 2014; 2020; 2021), atau mengidentifikasi dimensi diakronik dalam resepsi atas Al-Qur’an.
Adapun Mustaqim dengan asumsi serupa bahwa metode penelitian Living Qur’an yaitu “kajian Qur’an kontemporer yang tidak hanya berkutat pada wilayak kajian teks … akan (tetapi) lebih banyak mengapresiasi respon dan tindakan masyarakat terhadap kehadiran al-Qur’an, sehingga tafsir tidak lagi hanya bersifat elitis, melainkan emansipatoris”.
Mustaqim melihat bahwa penelitian Living Qur’an dapat dimanfaatkan untuk agenda dakwah dan kepentingan pemberdayaan umat, semisal dengan menggeser pemahaman klerik para dukun muslim―yang menggunakan berbagai mantra dan simbol Qur’ani―menuju pada pemahaman akademik, berupa kajian tafsir, misalnya, guna menghindari praktik-praktik yang “dapat dipandang merendahkan fungsi Al-Qur’an” (Mustaqim: 2007, hlm. 68-70).
Belakangan, kecelakaan sejarah lain muncul tatkala para sarjana studi Islam dan Qur’an berupaya untuk merespon tren studi Living Qur’an. Kecelakaan sejarah yang penulis maksud yaitu fenomena perceraian dan patahan epistemologis (la coupure épistémologique) dalam artian diskontinuitas teoretis dari konsep “orisinil” Living Qur’an yang para penulis Metopen LQH pahami di tahun 2007. Klaster-klaster baru kajian Living Qur’an dapat dibaca sebagai respon epistemologis, metodologis dan/atau ideologis atas tren penelitian yang selama ini gemar memunculkan terma-terma baru nan bid’ah seperti Islam kejawen, rabu wekasan, okultisme, kebudayaan magis, tradisi mamakiah, puitisasi Qur’an, dan puasa mutih.
Disertasi Rafiq tentu kontras dengan Metopen LQH (2007) dari para dosen prodi Tafsir Hadis yang “merepresentasikan tahap awal … pijakan menapaki anak tangga berikutnya dalam studi Al-Qur’an lapangan” (Mansur: 2020, hlm. 314). Disertasi yang berjudul, “The Reception of the Qur’an in Indonesia” (2014), membawa gebrakan bagi metode Living Qur’an dalam Metopen LQ sebab Rafiq mendorong para sarjana studi Islam untuk mengenali upaya apropriasi ganda dari masyarakat muslim modern dalam merespon dan menghidupkan Al-Qur’an yang berbahasa Arab di tengah komunitas berbahasa non-Arab. Dengan mengamati kasus warga suku Banjar dengan pendekatan fenomenologi, Rafiq menilai bahwa Al-Qur’an telah mengisi momen-momen paling kritis masyarakat Banjarmasin sejak proses kelahiran hingga kematian manusia, atau yang umum disebut “ritual peralihan” (van Gennep: 1981).
Rafiq memodifikasi fenomenologi Wilfred Cantwell Smith, William Graham, Sam D. Gail, dan Harold Coward sebagai kerangka teoretis dalam disertasinya. Graham (1985; 1988; 1989) menjelaskan bagaimana para sarjana studi Qur’an modern gagal dalam memahami situasi penghidupan dan pengamalan Al-Qur’an di periode awal Islam yang tak terlepas dari dominasi tradisi lisan, mirip ketika Smith (1993) bilang bahwa para sarjana perlu berfokus pada pembaca kitab suci untuk memahami kitab suci, ketimbang sekedar membaca teks itu sendiri. Situasi oral tersebut mengilustrasikan fungsi resitatif Al-Qur’an, di samping menunjukkan posisi Kalam Ilahi tersebut di tengah “komunitas umat beriman―sekelompok orang yang mendengar bacaan Qur’an dengan penuh kesadaran, menyimak untaian kalimatnya, mencintai, dan menghormati teks tersebut, hingga hidup dengan, oleh sebab, dan demi ayat-ayat (Qur’an) itu.”
Berbeda bila dibandingkan dengan masyarakat Timur Tengah yang selama ini menjadi sentral kajian mikro-historis dalam studi Islam, suku Banjar yang memiliki language barriers mendorong para warganya untuk bersikap kreatif dalam merespon dan menyebarluaskan kitab suci berbahasa Arab itu sehingga proses resepsi warga Banjar, baik dalam fungsi informatif maupun performatif (Gail: 1983), dapat terlaksana secara informatif, transformatif, transaktif, dan simbolik (Levering: 1989) berkat komunikasi oral. Apropriasi ganda antara Al-Qur;an sebagai subjek aktif dan objek aktif dalam proses resepsi menjadi proses berkelanjutan guna mencari idealitas Qur’an dan hubungannya dengan nilai, praktik, dan tradisi lokal suku Banjar. Idealitas Al-Qur’an disusun dari konstruksi sosial-keagamaan guna memastikan bahwa dan pengetahuan/penafsiran sahih tentang wahyu dari para broker budaya dapat terdengar di telinga masyarakat Banjar melalui “ijazah”, bukti transmisi pengetahuan dari guru kepada muridnya.
Kendati penelitian Rafiq tidak menggunakan brand “living Qur’an”, kajiannya tentang penghidupan Qur’an di masyarakat Banjar menjadi gebrakan bagi metodologi penelitian living Qur’an dan hadis, meneruskan tirkah eksperimen dari Metopen LQH. Berdasarkan hasil diskusi di Forum Diskusi Bacaan LSQH 8 Desember 2022 lalu, Rafiq bahkan didapuk menjadi founding-father “Living Qur’an” di lingkungan PTKIN, antara lain UIN Susqa Riau, UIN Ar-Raniry, dan UIN Alauddin Makassar. Kendati demikian, para peserta diskusi mengaku bahwa mereka tidak sekalipun pernah membaca karya disertasi Rafiq. Justru para mahasiswa PTKIN diarahkan para pengajarnya untuk mendalami Living Qur’an dari buku Metopen LQH (2007). Kehadiran Metopen LQH (2007) menjadikan “Living Qur’an” sebagai konsep payung untuk menampung kajian-kajian interdisipliner atas fenomena Al-Qur’an dan fenomena masyarakat pembaca Qur’an.
Melangkah lebih jauh dari eksperimen Metopen LQH, Qudsy dan Dewi dalam Living Hadis: Praktik, Resepsi, Teks, dan Transmisi (2018) berpendapat bahwa “living hadis adalah sebuah model kajian bahkan salah satu cabang disiplin dalam ilmu hadis.” Dengan kata lain, kedua penulis ini mengajarkan mata kuliah “Living Qur’an” dengan asumsi dasar bahwa living Qur’an adalah diskursus dan sub-keilmuan dalam studi Al-Qur’an. Zuhri dan Dewi mengklaim bahwa eksistensi teks dalam masyarakat tidak selalu hadir dalam proses pembentukan pengetahuan dan praktik terhadap Al-Qur’an, berbeda dengan Mustaqim dan Rafiq yang mengedepankan aspek tekstualitas dalam studi Living Qur’an.
Qudsy dan Dewi mendekonstruksi penelitian Living Qur’an menjadi upaya pengamatan atas pre-teks wahyu yang telah menjadi bagian dari bodily hexis masyarakat pembaca Al-Qur’an dalam bentuk praktik estetik dan fungsional, kendati jejak tekstual dari Qur’an dan tafsirnya telah hilang dari resepsi eksegesis masyarakat (Qudsy & Dewi: 2018, hlm. 15, 72). Meminjam istilah Rafiq, model penelitian Qudsy dan Dewi terkategori sebagai “The Lived Qur’an” sebab kedua pengampu mata kuliah Living Qur’an tersebut mengisyarakatkan bahwa penelitian LQ merupakan upaya dan ekspresi penghadiran Al-Qur’an sebagai objek pasif sehingga penelitian ini tidak bertanggungjawab untuk melacak subjek pemberi makna dan genealogi para cultural broker yang terlibat dalam proses pembentukan fenomena Qur’an.
Adapun Ahmad Ubaydi Hasbillah di PTIQ Jakarta menulis Ilmu Living Qur’an-Hadis: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi (2019) guna merespon eksperimen Metopen LQH dari para sarjana mazhab Yogya. Hasbillah yang mengadopsi konsep pohon ilmu Imam Suprayogo (2001) membangun asumsi bahwa posisi Qur’an dan hadis perlu dikembalikan sebagai sumber paling otoritatif yang mengatur norma dan kehidupan masyarakat muslim. Menariknya, karya Hasbillah adalah salah satu, kalau bukan satu-satunya, literatur akademik perseorangan yang ditulis di lingkungan PTKIN. Kontribusi Hasbillah di bidang Living Qur’an-Hadis membuat figurnya menjadi otoritas baru dalam studi Living Qur’an serta mendorong para pembacanya untuk memperhitungkan pikiran-pikirannya dalam bidang kajian Al-Qur’an dan sosial-budaya.
Hasbillah merespon berbagai bid’ah dan kesalahan sejarah dalam fenomena Al-Qur’an dengan menyatakan bahwa Living Qur’an-Hadis menjadi mekanisme kerja akademisi untuk mengajarkan dan menyebar-luaskan sistem kehidupan ala Nabi yang telah terkodifikasi dalam Al-Qur’an dan kitab-kitab hadis guna menghindari “benturan, distorsi, dan anomali-anomali dalam aktualisasi kehidupan sekarang ini” (Ubaydillah: 2017; 2019). Model riset Living Qur’an semacam ini, masih meminjam istilah Rafiq (2020), tergolong pada nomenklatur “Living the Qur’an” sebab para penelitinya didorong untuk membangun menghidupkan dan memurnikan teks, praktik, dan idealitas dalam performasi Al-Qur’an pada masyarakat muslim.
Pada Februari 2020, tepat sebulan sebelum pandemi COVID-19 melanda seluruh dunia, AIAT Indonesia memberikan respon balik atas berbagai kajian terdahulu dengan penerbitan Living Qur’an. Tulisan ini memuat sepuluh investigasi fenomenologis dan/atau etnografis atas upaya penghayatan Al-Qur’an di tengah para pembacanya.
Pasaraya kajian “living qur’an” bergembira dan gegap gempita berkat kelahiran buku daras dari rahim Asosiasi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (AIAT) Indonesia. Buku ini lahir secara normal pada 26 Februari 2020 dan di-tasmiyah pada kegiatan “Launching Book dan Annual Meeting AIAT Indonesia” di Hotel Saphir Yogyakarta dengan suntikan imunisasi dari Subdit Penelitian, Dirjen Pendis Kementerian Agama RI. Lembaga Ladang Kata menjadi bidan yang membantu proses persalinan anak berukuran B5 dengan bobot ± 132 gram dan kandungan xii+ 318 halaman itu. Para orang tua Living Qur’an: Teks, Praktik, dan Idealitas dalam Performasi Al-Qur’an (saya singkat LQ) dapat berbangga dengan kehadiran anak mereka, sebab LQ selalu habis di pasaran kendati telah mengalami tiga kali proses cetak ulang. LQ memang menjadi rujukan lanjutan para peneliti “Studi Living Qur’an”―meneruskan tirkah saudara kandungnya, Metode Penelitian Living Qur’an dan Hadis (saya singkat Metopen LQH), yang terpaut usia 13 tahun 3 bulan.
Living Qur’an (2020) adalah kumpulan artikel yang terlibat dalam “Call for Paper: Living Qur’an” yang diselenggarakan oleh AIAT Indonesia. Setelah proses pengadaan artikel terlaksana, penulis membayangkan bahwa terjadi proses seleksi dan penyuntingan bagi paper-paper yang terkumpul guna memastikan bahwa tiap artikel yang kelak terbit memiliki irisan epistemologis dan metodologis dengan konsep Living Qur’an yang penyunting pahami. Namun proses seleksi dan penyuntingan tersebut tidak menjamin bahwa kesepuluh hasil penelitian lapangan atas fenomena living Qur’an tersebut mengadopsi model fenomenologi Ahmad Rafiq yang menggabungkan pikiran Wilfred Cantwell Smith, William Graham, Sam D. Gail, dan Harold Coward.
Kendati demikian, beberapa paper yang terbit merupakan hasil pengembangan, reproduksi, atau parafrase judul dari penelitian-penelitian terdahulu. Tulisan Islah Gusmian pada bertajuk “Al-Qur’an: Antara yang Indah dan Berfaedah dalam Pergumulan Muslim Indonesia” adalah pengembangan dari tulisannya yang terbit di Jurnal Afkar Edisi No. 18 Tahun 2004 dengan judul “Al-Qur’an dalam Pergumulan Muslim Indonesia”. Adapun tulisan Novizal Wendry “Kitab Suci dan Sedekah dalam Tradisi Mamakiah: Resepsi Komunitas Surau Padang Pariaman” adalah revisi dari artikelnya di Miqot: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman vol XLI no. 1, Juli 2017, dalam artikel berjudul “Pakiah and Sadakah: The Phenomenon of Mamakiah Tradition in Padang Pariaman.” Adapun tulisan dari Nazifatul Ummy Al Amin dkk. yang berjudul “Transformasi Negosiatif dan Resuposisi QS. Al-Kafirun” adalah pengembangan dari makalah kelas “Sosiologi dan Antropologi Agama” UIN Suka tatkala membahas pengalaman agama minoritas di Yogyakarta tahun 2018, namun makalah mengalami proses pengumpulan dan analisa data ulang pada Agustus-Oktober 2019 untuk kebutuhan analisis Living Qur’an bagi komunitas non-Muslim di lingkungan mayoritas muslim daerah Krapyak, Bantul. Dengan demikian, Living Qur’an, dalam artian yang paling luas, teridentifikasi sebagai payung yang mengakomodir berbagai kajian yang berbeda dengan titik temu pada fokus pencarian pada fenomena Al-Qur’an, baik yang terekam dalam peristiwa masyarakat maupun dalam data literatur.
Sebagai catatan terhadap Living Qur’an (2020), saya mengapresiasi upaya Rafiq dalam mengklasifikasi sepuluh artikel Living Qur’an ke dalam tiga sub-kategori, antara lain; “Relasi substransi estetis Al-Qur’an dan ekspresi estetis penerimaan Al-Qur’an;” “Variasi penerimaan dan ekspresi sosial budaya masyarakat muslim Indonesia terhadap Al-Qur’an, serta;” “Peran teks-teks sekunder terhadap idealitas dan praktik Al-Qur’an dalam kerangka transmisi-transformasi pengetahuan terhadap Al-Qur’an.” (hlm. xvii-xviii). Sepuluh artikel tersebut mengeksplorasi dimensi musik, kaligrafi, tahfiz Al-Qur’an, tradisi mamakiah, obat fisik, tradisi rabu wekasan, jimat dan senjata Qur’an, okultisme, kebudayaan magis, dan fadilah surat sebagai percontohan kajian lintas-disiplin yang membawa kajian “segar” bagi ulūm ad-dīn. Muhammad Mansur di bagan epilog memberikan justifikasi bahwa karya ini merupakan “tahap perkenalan dengan berbagai teori baru dan asing bagi para peneliti studi Al-Qur’an klasik”, kemudian dilengkapi dengan klaim bahwa “kalaupun capaian keilmuan ini dianggap bid’ah, maka setidaknya ini adalah bid’ah baik yang sangat dibutuhkan kehadirannya dalam upaya pengembangan keilmuan” (hlm. 316).
Namun saya memiliki beberapa catatan pada Living Qur’an (2020) sebagai bahan kritik konstruktif. Hasil diskusi saya dengan di Forum Diskusi Bacaan LSQH pada 8 Desember 2022 menunjukkan bahwa setidaknya 20an mahasiswa S2 Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir memiliki rasa resah pada ketidakmapanan kajian Living Qur’an secara metodologis. Para mufasir madya itu menantikan suatu langkah praktis untuk menerapkan Living Qur’an sebagai kerangka teori penelitian tugas akhir, seperti halnya ratusan skripsi tesis, hingga disertasi di UIN Yogya; sebagai contoh, lihat Rohmansyah: 2020 dan Mustofa: 2021.
Para peserta Diskusi Bacaan LSQH bersepakat untuk mendekonstruksi epistemé Living Qur’an menjadi “kerangka teori” ketimbang sebagai “fenomena Qur’an” sebagaimana yang Rafiq pahami. Para peserta diskusi turut optimis untuk mengaplikasikan model penelitian “living the Qur’an” yang berorientasi pada pemberdayaan umat lewat agenda dakwah berwawasan Al-Qur’an, ketimbang berkaca ke model penelitian “the living Qur’an” semisal disertasi Rafiq yang melakukan identifikasi, komparasi, dan teoretisasi fenomena penghidupan Qur’an secara oral di tengah masyarakat Banjar. Singkat kata, para peneliti dan mahasiswa haus untuk mencari sebuah perangkat penelitian Living Qur’an yang “mapan”, “instan” dan final ― ketimbang menjadikan riset Living Qur’an sebagai payung bagi grounded research yang terus melebarkan sayap kajian seiring perkembangan keilmuan.
Berangkat dari realitas tersebut, saya mendorong para sarjana kenamaan dan pemerhati kajian Living Qur’an untuk menghadapi suatu dilema besar antara; 1) menyodorkan langkah riset yang “instan” sehingga LQ dapat menjadi kajian populer, namun dengan bayaran berupa kemunduran kemampuan berpikir para intelektual muda dan mufasir madya, atau; 2) konsisten menjadikan LQ sebagai payung kajian fenomena Al-Qur’an yang terus memapankan diri dengan berbagai perkembangan teori sosial-humaniora terkini, tapi menanggung beban berupa kemunduran jumlah peminat kajian yang beranggapan bahwa “Living Qur’an terlalu rumit”. Wallāhu a’lam.
(artikel ditulis sebagai materi forum Diskusi Bacaan Laboratorium Studi Qur’an-Hadis (LSQH) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada 8 Desember 2022)
How to cite this Article: Egi Tanadi Taufik,Living Qur’an: Bid’ah dan Kecelakaan Sejarah dalam Studi Al-Qur’an , studitafsir.com (blog), Desember 12, 2022 (+ URL dan tanggal akses).