Bagaimana Jika Kita Selama Ini Salah Memahami al-Ṭabarī (d. 310/ 923)?: Sebuah Kajian Makro-Tekstual

Oleh: Mu’ammar Zayn Qadafy

Setelah menerbitkan The Formation of Classical Tradition pada 2013, Walid Saleh mengembangkan tesisnya tentang terlalu diglorifikasinya al-Ṭabarī dalam historiografi tafsir modern. Catat bahwa dalam bukunya di atas, Saleh mengusung al-Thaʿlabī (w. 427/1036) sebagai maestro tafsir ensiklopedis Sunni yang sebenarnya, bukan Ṭabarī. Untuk membuktikan klaim tersebut, alih-alih langsung mengkaji magnum-opus Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān, Saleh melakukan kajian makro-tekstual dengan membandingkan materi-materi tafsir di karya Ṭabarī dengan karya seseorang mufassir lain yang semasa dengannya, Abū Manṣūr al-Māturidī (d. 333/ 944).

Riset Saleh ini didasari oleh sebuah “kecurigaan” bahwa Tafsir Ṭabarī yang dielu-elukan oleh umat Islam di era modern ini (baik oleh para akdemisi maupun para teologian), jangan-jangan pada masanya tidak seberpengaruh yang diduga. Dengan kata lain, adalah sebuah kesalahan jika metode tafsir yang ditawarkan Ṭabarī dianggap merepresentasikan mainstream tafsir Sunni, karena Ṭabarī hanya menawarkan satu jenis cara menafsirkan al-Qur’an, yang bisa jadi justru merupakan metode “pinggiran” di masanya. Melalui “keresahan akademik” ini, Saleh ingin mengatakan bahwa corak tafsir eksklusif yang terlalu mengandalkan riwayat-riwayat Sunni, seperti karya Ṭabarī, pada awalnya bukanlah metode mainstream di kalangan Ahlus Sunnah yang justru sangat terbuka dengan pemakaian retorika, filologi dan penalaran ala kelompok mu’tazilah (hal. 181).

Satu hal lagi yang menurut Saleh, harus diwaspadai ketika membaca Tafsir Ṭabarī: kecenderungan Ṭabarī untuk langsung mengesampingkan (baca: tidak mengutip) pendapat yang tidak sesuai dengan kecenderungan teologisnya. Sehingga memakai Tafsir Ṭabarī untuk membaca sejarah perdebatan panjang dalam penafsiran muslim awal atas al-Qur’an sangat tidak memadai. Ṭabarī, kata Saleh, jauh lebih radikal dan ideologis dari yang sebagian besar kita kira. Ṭabarī bertindak layaknya seorang hakim yang memutuskan mana tafsir yang boleh dan tidak, bukan sebagai penafsir al-Qur’an yang ingin menjelaskan makna al-Qur’an.

Bagaimana dengan Māturidī? Posisinya sebagai begawan tafsir di masanya, lebih mentereng dari Ṭabarī. Kitab kedua tokoh yang terbit saat sekarang hampir sama tebalnya. Bedanya, Ṭabarī menyertakan semua sanadnya, sementara Matūridī membuang hampir semuanya. Jadi dari segi konten, Tafsir Māturidī jauh lebih kaya dari Tafsir Ṭabarī. Matūridī juga tidak segan-segan menyertakan pendapat pribadinya baik dalam analisa maupun dalam kesimpulan, tidak seperti Ṭabarī yang pendapat pribadinya tersamarkan oleh materi-materi hadith dan athar yang ia sertakan. Dalam tafsirnya, Māturidī tidak hanya merekam tafsir-tafsir terdahulu, sebagaimana yang dilakukan Ṭabarī, melainkan juga  bertindak sebagai seorang mufassir yang tengah mencatat perdebatan yang hidup mengenai makna ayat tertentu dari al-Qur’an. Karenanya, Matūridī tidak merasa canggung untuk menyertakan argumen-argumen yang bersebarangan dengan teologi Ahl al-Sunnah, Mu’tazilah misalnya.

Kasus Tafsir atas Q. 67: 5

Untuk lebih memahami argumen Saleh, mari kita mengikuti contoh kasus yang ia amati, yaitu tentang tafsir Q. 67: 5 dalam karya Ṭabarī dan Māturidī. Ayat tersebut berbunyi:

وَلَقَدْ زَيَّنَّا ٱلسَّمَآءَ ٱلدُّنْيَا بِمَصَٰبِيحَ وَجَعَلْنَٰهَا رُجُوماً لِّلشَّيَٰطِينِ وَأَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابَ ٱلسَّعِيرِ

“Sungguh, Kami benar-benar telah menghiasi langit dunia dengan bintang-bintang, menjadikannya (bintang-bintang itu) sebagai alat pelempar terhadap setan, dan menyediakan bagi mereka (setan-setan itu) azab (neraka) Sa‘ir (yang menyala-nyala).”
Ṭabarī secara singkat menafsirkan ayat ini, dengan menyebut pendapat Qatādah (w. 118/736), bahwa Tuhan membuat bintang-bintang untuk tiga tujuan spesifik: sebagai hiasan langit, sebagai misil yang dilemparkan ke para setan, dan sebagai petunjuk di malam hari maupun di kegelapan lautan (dengan mengaitkannya pada Q. 16: 6). Menariknya, Ṭabarī menutup tafsirnya dengan mengecam orang-orang yang punya penafsiran lain yang berbeda dari apa yang ia telah sampaikan. Meski tidak menyebutkan siapa yang ia kecam, Saleh menduga keras bahwa Ṭabarī sedang menyindir Māturidī.

Dalam Taʾwīlāt Ahl al-Sunnah, Māturidī menyebut tiga makna yang telah disampaikan Ṭabarī dengan penjelasan yang lebih panjang lebar lagi argumentatif, dan dengan menyertakan dua ayat pembanding yang tidak disebutkan Ṭabarī. Māturidī juga tidak menyebut nama Qatādah sebagaimana yang Ṭabarī lakukan. Menurut Saleh, ini berarti bahwa di tangan Māturidī, tafsir sunni bersifat diskursif, deduktif dan tidak terlalu risau dengan penyandaran pendapat pada otoritas terdahulu (hal. 184).

Kemudian, ada satu poin penafsiran lain yang dijelaskan Māturidī. Menurutnya, ayat ini memiliki kemiripan dengan Q. 18:7 yang menyebut bahwa Tuhan telah membuat hiasan di bumi, yang dengan hiasan itu, Dia menguji hamba-hambanya, siapa di antara mereka yang berbuat baik. Dengan demikian, kata Māturidī, bintang-bintang yang ada di langit juga bisa dipahami sebagai ujian bagi para penghuni langit (para malaikat).

Penafsiran deduktif Māturidī inilah yang disindir dan dikritik oleh Ṭabarī. Māturidī tidak segan-segan mendiskusikan ide mengenai para malaikat yang bisa juga berdosa, menyalahi peraturan Tuhan dan karenanya sangat mungkin diuji. Lihat misalnya penafsiran Māturidī dalam Q. 2: 30 dan Q. 33-34. Sama-sama berposisi sebagai mufassir sunni yang punya akses terhadap materi-materi tafsir awal, Māturidī memiliki sikap kesarjanaan yang berbeda dengan Ṭabarī. Jika yang kedua menggunakan kecenderungan teologisnya untuk mengabaikan keberadaan sebuah perdebatan mengenai tafsir tertentu, yang pertama bersikap santai terhadap perdebatan tersebut, betapapun aneh dan “berbahaya”nya, karena memang begitulah cara kerja tafsir ensiklopedis Sunni di masa itu.

Dari penjelasan ini, Saleh ingin menegaskan bahwa justru model tafsir Ṭabarī yang terlalu tunduk pada riwayatlah yang menyalahi praktik tafsir Sunni di masanya, karena model tafsir Māturidī bisa ditelusuri hingga Muqātil Ibn Sulaymān (w. 150/767). Jāmiʿ al-Bayān karya Ṭabarī tidak pernah menjadi puncak tradisi tafsir Sunni, sebagaimana banyak diasumsikan oleh para sejarawan Tafsir modern (hal. 187), jelas Saleh.

Kritik Saleh terhadap Cara Mehmed Akif Koc (Ankara University) dalam Membaca Hubungan Ṭabarī dan Muqātil Ibn Sulaimān

Secara khusus, Saleh memberikan perhatian pada karya Koc tentang Muqātil. Koc mencatat bahwa Muqātil dikutip oleh Māturidī, al-Samarqandī (w. 372/983), al-Thaʿlabī, al-Zamakhsharī (w. 537/1143), al-Rāzī (w. 606/1210), dan lain-lain, tetapi nama Muqātil tidak terdapat dalam karya Ṭabarī. Bagi Koc, ini menunjukkan bahwa Ṭabarī tidak menggunakan Muqātil sebagai sumber penafsiran karena yang disebut terakhir ini adalah mufassir sesat yang harus direhabilitasi agar tafsirnya bisa diakui.

Secara retoris, Saleh mengajukan pertanyaan untuk cara berpikir Koc ini. Mengapa legitimasi Muqātil dalam tradisi tafsir Sunni hanya didasarkan pada dipakai atau tidak dipakainya tafsirnya oleh Ṭabarī? Bagaimana jika yang terjadi adalah sebaliknya, bahwa Muqātil adalah standar tafsir Sunni kala itu, dan Ṭabarī adalah penyimpangan atasnya? Bagaimana Koc menjelaskan fakta bahwa hanya Ṭabarī saja yang alpa terhadap Muqātil, sedang para mufassir lain tidak? Saleh mengajukan analisa makro-tekstual untuk membalik argumen Koc dengan membandingan tafsir Muqātil dan Ṭabarī pada materi-materi yang oleh Ṭabarī tidak disertakan sanad-nya. Saleh berargumen, pada materi-materi ini, Ṭabarī jelas memplagiasi Muqātil lalu menihilkan perannya. Ia memakai penafsiran Muqātil tanpa mengakuinya sebagai sumber tafsir.

Sebagai contoh adalah penafsiran Ṭabarī tentang frasa wa huwa al-ʿAzīz (Dialah yang maha perkasa) dalam Q. 67: 2. Muqātil mengomentari frasa ini dengan mengatakan: fī mulkihi fī naqmatihi li man ʿaṣāhu (di dalam kedaulatan-Nya, di dalam pembalasan-Nya bagi siapa saja yang tidak membangkangNya). Sementara Ṭabarī mengatakan: wa huwa al-qawī al-shadīd intiqāmuhu mimman ʿaṣāhu wa khālafa amrahu (Dialah yang kuat, yang sangat besar pembalasannya bagi orang yang membangkangNya dan menentang perintah-Nya). Kemiripan diksi dan struktur kalimat dari pernyataan kedua mufassir ini membuat Saleh menyimpulkan bahwa Ṭabarī telah dengan sengaja mem-parafrase-kan pernyataan Muqātil.

Contoh lainnya adalah penafsiran Ṭabarī dan Muqātil atas kata shahīq dalam Q. 67:7 yang dijelaskan sebagai suara keledai (shawt al-ḥimār). Sepelacakan Saleh, hanya Muqātil saja yang mengartikan demikian, dan itu berarti bahwa Ṭabarī pasti merujuk Muqātil meski, lagi-lagi, ia tidak mengakuinya. Untuk contoh-contoh lain (seperti kemiripan penafsiran keduanya dalam Q. 10), silahkan baca sendiri artikel Saleh yang tautannya saya sertakan di bagian akhir review ini. Ringkasnya, Ṭabarī tidak hanya tidak mengakui Muqātil, ia juga tidak mengakui sentralitas tradisi Mu’tazilah dalam tafsir Muqātil (hal. 191).

Dengan analisa makro-tekstual ini, Saleh berargumen bahwa model tafsir Ṭabarī tidak pernah menjadi mainstream tafsir skolastik sunni, meski Saleh mengakui legasi Ṭabarī  dalam menyertakan sanad yang mendetail untuk setiap tafsir yang ia ketengahkan. Dengan merapat kepada metodologi ahl al-ḥadīth, Ṭabarī melakukan sensor yang sangat ketat tentang materi yang menurutnya boleh atau tidak untuk masuk ke dalam tradisi tafsir Sunni.

Penutup

Jika demikian berbeda sejarah yang kita pahami mengenai Ṭabarī dan formasi tafsir klasik, mengapa tafsir Māturidī dan Thaʿlabī di zaman sekarang tidak sepopuler Ṭabarī?. Mungkinkah manuskripnya entah bagaimana tidak cepat terselamatkan, atau mungkin memang ada gerakan ideologis dan teologis tertentu yang ingin mengaburkan sejarah intelektual Islam?. Di sinilah letak kontribusi utama dari artikel Saleh ini. Ia memantik pertanyaan-pertanyaan kritis seputar apa yang selama ini komunitas Muslim (baik akademisi maupun orang awwam) yakini sebagai sebuah kebenaran, dan jika temuan-temuan Saleh diamini dan diadopsi secara serius, maka saya meyakini itu bisa merubah cara kita memandang sejarah masa lalu, kondisi masa kini, dan apa yang akan terjadi di masa depan.

ʿAlā kulli ḥāl, Tafsir Ṭabarī adalah karya monumental yang ditulis secara serius. Semua orang akan sepakat. Tapi bagaimana posisi model tafsir Ṭabarī di tengah kontestasi metode tafsir kelompok Sunni, sisi itu yang masih menjadi ruang perdebatan. Walid Saleh dengan sangat baik membuka untuk kita sebuah kotak pandora yang teramat gelap. Tidak banyak orang yang akan berani melihat isi kotak tersebut lebih dalam, karena itu akan berarti penentangan terhadap pemahaman yang sudah mapan: penentangan terhadap ortodoksi.

 

*Review ini ditulis untuk menyambut Studium Generale bertemakan “Ṭabarī: Revisited” pada 5 April 2023 di Theatrikal Fakultas Ushuluddin, yang diadakan berkat kerja sama Program Studi IAT, UIN Sunan kalijaga, Laboratorium Studi Quran Hadith dan Studitafsir.com.

How to cite this Article: Muammar Zayn Qadafy, “Bagaimana Jika Kita Selama Ini Salah Memahami al-Ṭabarī (d. 310/ 923)?: Sebuah Kajian Makro-Tekstual”, studitafsir.com (blog), April 3, 2023 (+ URL dan tanggal akses)

Detil Artikel yang diringkas: Walid Saleh, Re-reading al-Tabari Through al-Maturidi: New Light on The Third Century Hijri. Download artikel di sini.

 

 

Share It :
Studi Tafsir
Studi Tafsir
Articles: 80

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Unknown