Dipertanyakannya Posisi “al-Tafsīr wa al-Mufassirūn” Sebagai Sumber Utama Historiografi Tafsir
Oleh: Asrul Syam
Pemikiran-pemikiran Walid Saleh (Toronto) secara eksplisit sudah beberapa kali diulas dan dipublikasikan di StudiTafsir. Ulasan-ulasan tersebut antara lain oleh Mu’ammar Zayn Qadafy (Tentang Klasifikasi Tafsīr bi-l-Maʾthūr dan bi-l-Raʾy yang Tidak lagi Fashionable), S.M Fahmi Azhar (Walid Saleh dan Trend Riset Penelusuran Kosa Kata ‘Asing’ dalam al-Qur’an), dan Annas Rolli Muchlisin (Walid Saleh dan Tafsir sebagai Tradisi Genealogis). Apa yang saya tulis ini akan berkaitan dengan tulisan yang pertama dan ketiga. Saya menyarankan anda membaca keduanya setelah membaca artikel ini.
Well, dalam sebuah artikel yang berjudul “Preliminary Remarks on The Historiography of Tafsir in Arabic: A History of the Book Approach (2010)”, Saleh melakukan kajian terhadap beberapa karya historiografi tafsir di dunia Arab. Tulisan Saleh ini cukup panjang, 37 halaman belum termasuk footnote. Saleh memulai tulisannya dengan mengajukan argumentasi, bahwa ada tiga kategori (kelompok) utama karya-karya historiografi tafsir, yaitu Asy’ari Tradisional (Sunni), Salafi dan Modernis.
Ketiga kelompok ini menurut Saleh tidak hanya kaya karena terus memproduksi kitab-kitab tafsir, melainkan juga terkait erat dengan the cultural battles, pertarungan budaya (pemikiran) antara satu kelompok dengan kelompok lain pada periode modern. Adapun karya-karya yang diteliti oleh Saleh dalam artikel jurnalnya tersebut adalah (1) al-Tafsīr wa al-Mufassirūn karya Muḥammad Ḥusain al-Dhahabī (1915-1977); (2) al-Tafsīr: Maʿālim Ḥayātih, Manhajuh al-Yaum karya Amīn Al-Khūlī (1895-1966); (3) al-Naḥw wa Kutub al-Tafsīr karya Ibrāhīm Rufaidah (1931-1999); (4) al-Tafsīr wa Rijāluh karya Muḥammad al-Fāḍil Ibnu ‘Ashūr (1909-1970); dan (5) al-Fihris al-Syāmil li al-Turāth al-‘Arabī al-Islāmī al-Makhṭūṭ karya Yayasan Ālu al-Bayt. Di antara ke-5 karya ini, karya al-Dhahabī diposisikan berbeda dibanding dengan karya-karya lainnya.
Saleh menuliskan, survei singkat terhadap karya al-Dhahabī sangat jelas menunjukkan usaha besar-besaran yang dilakukannya, dalam usahanya menggambarkan secara komprehensif tentang genre tafsir. Sang penulis, menurut Saleh telah menunjukkan upaya yang luar biasa dalam menulis ensiklopedia Kitab tafsir yang barangkali, dari segi kuantitas datanya, belum tertandingi hingga sekarang. Hal tersebut bisa dipahami karena al-Dhahabī tidak membatasi penelitiannya terhadap karya-karya yang terdokumentasikan, tapi juga terhadap karya tafsir yang tidak diterbitkan. Sebagai dua contoh karya yang tidak diterbitkan ungkap Saleh adalah al-Kasyf wa al-Bayān karya al-Thaʿlabī (w. 427/ 1025) dan tafsir Ibn ‘Aṭīyah (w. 541/1146).
Di balik apresiasi Saleh, ia juga memberikan kiritik konstruktif, yang membuat para pegiat kajian tafsir di Indonesia memikirkan ulang otoritas al-Tafsīr wa al-Mufassirūn. Serangan pertama Saleh terhadap magnum opus al-Dhahabī ini bisa dilihat di halaman ke-7 pada karyanya tersebut. Pasalnya, al-Dhahabī membagi periode tafsir menjadi tiga fase: periode Nabi dan Sahabat, periode Tabi’in dan periode Penulisan (tadwin). Yang mengganggu Saleh adalah bahwa periode ketiga versi al-Dhahabī ini memiliki rentang waktu yang teramat panjang, yakni 1.200 tahun. “Not a very helpful divison”, ungkap Saleh. Karya yang cukup memuaskan baginya, yang menawarkan periodesasi signifikan bagi sejarah tafsir adalah al-Naḥw wa Kutub al-Tafsīr karya Ibrāhīm Rufaidah (1931-1999) yang membaginya menjadi enam periode. Karya ini layak menjadi referensi utama dalam studi tafsir, namun sejauh ini kata Saleh, karya tersebut belum mendapat pengakuan sama sekali.
Tidak cukup sampai periodesasi tafsir yang dikritik oleh Saleh terhadap karya al-Dhahabī, dengan nada provokatif ia melanjutkan bahwa karya tersebut tidak memiliki visi atau pemahaman historis terkait perkembangan tafsir sebagai genre. Paradigma sejarah versi Salafī yang diusung al-Dhahabī ini tidak pernah mencermikan perkembangan historis tafsir sebagai genre literatur tersendiri. Salah satu indikasi bermainnya paradigma salaf di sini adalah dipakainya logika urutan kualitas tafsir dalam Muqaddimah Fī Uṣūl al-Tafsīr karya Ibnu Taimīyah (1263-1328) sebagai kerangka analitik utama. Sebagai catatan, Saleh juga punya tulisan khusus mengenai karya Ibn Taimīyah ini.
Saleh melanjutkan, karya al-Dhahabī gagal menempatkan gambaran tafsir dalam horizon yang lebih luas dari tradisi agama Islam, bungkam terhadap kontribusi tafsir dalam tradisi intelektual Islam, dan juga gagal mengaitkan berbagai arus yang membentuk paradigma hermeneutis Islam. Boleh dikata, Saleh memberikan pukulan telak kepada karya al-Dhahabī. Walhasil, Qadafy men-sintesa-kan kritik-kritik Saleh ini dalam sebuah kesimpulan bahwa istilah tafsir bil ma’tsur yang merupakan jargon utama dalam karya al-Dhahabī, sebagai jargon yang tidak lagi fashionable.
Dengan sangat apik, Saleh mendialogkan antara satu karya dengan karya lainnya, mencari kelemahan-kelemahnya, mengungkap kelebihan karya masing-masing. Tak kalah penting, Saleh juga mendedahkan keterhubungan dan pengaruh antara satu kelompok dengan kelompok lain, yang pada gilirannya membentuk sebuah worldview, seperti antara al-Tafsīr wa al-Mufassirūn karya al-Dhahabī dengan Muqaddimah Fī Uṣūl al-Tafsīr karya Ibnu Taimīyah. Di bagian lain, Saleh juga memberikan kritik terhadap dunia Barat yang menghiraukan karya-karya historiografi tafsir di dunia Arab yang kaya. Di dunia Arab, sangat masif mempublikasikan historiografi tafsir, tidak terkecuali proyek penerjemahan Madzāhib al-Tafsīr al-Islāmī karya Ignaz Goldziher. Hal ini berarti, lanjut Saleh, studi tafsir di dunia Arab telah bergerak melewati periode formatif dan telah terlibat dalam periode dokumentasi.
Terlepas dari semua itu, saya punya catatan untuknya. Seperti yang telah diungkap di awal ulasan ini, bahwa Saleh meneliti 5 karya historiografi tafsir. Sayangnya di antara kelima karya itu, satu karya tidak dielaborasi secara memadai, yaitu al-Tafsīr wa Rijāluh karya Muḥammad al-Fāḍil Ibnu ‘Ashūr (1909-1970). Saleh sedikit menyinggungnya dalam artikel ini, meskipun buku ini dia bahas cukup panjang lebar dalam karyanya yang lain. Sebagai sebuah artikel, benang merah antar lima karya tersebut tidak terkaitkan dengan sempurna.
Saya mengamini kritik Saleh terhadap karya al-Dhahabī, bahwa karya ini tidak memiliki visi atau pemahaman historis terkait perkembangan tafsir sebagai genre. Lebih jauh lagi, kategorisasi al-Dhahabī merepresentasikan pola yang sangat umum dilakukan di masanya, terhadap banyak disiplin ilmu. Jika kita perhatikan, banyak buku sejarah yang memakai pattern periodesasi berikut: masa Rasul – masa Sahabat – masa Tabi’in lalu masa kodifikasi (ʿaṣr al-tadwīn).
Yang paling fenomenal dari artikel Saleh ini adalah kesimpulannya bahwa al-Dhahabī terpengaruh kuat oleh Muqaddimah Fī Uṣūl al-Tafsīr karya Ibnu Taimīyah dalam menyusun karyanya. Saleh mengatakan, dominasi buku al-Dhahabī dalam diskusi mengenai tafsir di era modern ini menunjukkan bahwa pertarungan pemikiran telah dimenangkan oleh kaum salafī. Ini adalah klaim besar yang menarik untuk terus dikembangkan dan diuji dalam ruang-ruang perkuliahan dan diskusi publik. Bagaimanapun juga, judul artikel Saleh ini adalah Preliminary Remarks. Artinya, kajian-kajian lanjutan masih dibutuhkan untuk mengisi lubang-lubang sejarah tafsir yang masih berserakan.
Artikel yang diulas: Preliminary Remarks on The Historiography of Tafsir in Arabic: A History of the Book Approach (2010)
How to cite this Article: Asrul Syam, “Apa Maksud ‘Menangnya Paradigma Salafī dalam Historiografi Tafsir?’, studitafsir.com (blog), April, 14, 2022 (+ URL dan tanggal akses).