
Walid Saleh dan Trend Riset Penelusuran Kosa Kata ‘Asing’ dalam al-Qur’an
Oleh: S.M. Fahmi Azhar
Sejak abad pertengahan, diskusi tentang kosa kata asing dalam al-Quran sudah banyak diperbincangkan oleh para cendekiawan Muslim. Tema ini kembali eksis, ketika banyak sarjana modern yang ikut ‘nimbrung’. Dalam menyoal status kosa kata asing tersebut, mereka menawarkan metode baru untuk menemukan makna yang mereka anggap tepat.
Adalah Walid Saleh (Toronto) yang turut menyoroti trend ini. Dalam artikelnya yang berjudul The Etimologycal Fallacy and Qur’anic Studies Muhammad Paradise and Late Antiquity, Saleh mereview sekaligus mengkritik genre riset penelusuran makna kosa kata al-Qur’an ini. Ia memulai dengan sebuah buku karya Arthur Jeffery (w. 1959) tentang kosa kata asing dalam al-Quran, berjudul The Foreign Vocabulary of the Quran. Contoh yang diambil Saleh adalah kata Furqān yang menurut Jeffery membingungkan para mufassir. Karena tidak adanya kesepakatan tentang makna istilah ini, Jeffery berkesimpulan bahwa kata tersebut adalah ‘pinjaman’.
Hipotesis Jeffery ditentang oleh Saleh. Baginya, ada beragam pertimbangan bagi seorang mufassir untuk menentukan makna istilah tertentu dalam al-Quran. Terkadang, ia akan menghindari persoalan filologis agar tidak terkurung pada makna leksikal. Sebagai ilustrasi pembanding, Saleh merujuk pada kasus kata ‘ḍāll’ dalam QS.93:7, yang berbunyi “wa-wajadaka ḍāllan fa-hadā”. Para mufassir cenderung tidak memakna kata ini dengan arti “sesat”. Mereka menawarkan makna lain yang menurut mereka lebih sesuai dengan konteks struktural kata tersebut. Ketidaksepakatan mufassir dalam hal ini, karenanya, tidak lantas menjadi bukti bahwa kosa kata tertentu dari al-Qur’an adalah pinjaman dari bahasa lain.
Saleh lantas menyebut nama Uri Rubin (w. 2007) yang menurutnya telah merumuskan sebuah metode baru untuk mempelajari istilah sulit dalam al-Quran. Alasan mengapa seorang mufasssir seringkali memberikan makna yang beragam, menurut Rubin, adalah untuk mempertimbangkan hal-hal yang sifatnya teologis dan filologis. Sebab itulah, keragaman makna justru harus dirayakan, dikumpulkan, dan dievaluasi kembali, supaya suatu istilah dalam al-Quran bisa dipahami dengan baik.
Dengan kata lain, tidak penting lagi menyoal perbedaan makna dalam penafsiran. Seharusnya, perbedaan tersebut dimanfaatkan untuk analisis yang lebih dalam. Itupun jika ingin melakukan pembacaan filologis yang baik, yakni dengan mempelajari semua bukti yang tersedia. Seandainya prosedur itu sudah terpenuhi namun maknanya masih belum ditemukan, barulah penelaahan makna dari bahasa serumpun bisa dilakukan.
Banyak sarjana modern yang meyakini bahwa etimologi (penelusuran asal-muasal kata) adalah hal yang tidak bisa ditawar. Namun asumsi ini ditolak oleh sarjana lain, salah satunya adalah James Barr (1924-2006), seorang peneliti al-Kitab. Menurutnya, etimologi hanya sebuah alternatif dari sekian banyak alternatif yang lain. Dalam kasus al-Qur’an, sikap apatis terhadap penggunaan etimologi ditunjukkan oleh misalnya, Andrew Rippin (1950-2016).
Rippin telah melakukan analisis yang ekstensif terhadap kata ḥanīf dalam al-Quran (lihat artikel Rippin dalam buku yang diedit Wael B. Hallaq berikut). Rippin terang-terangan enggan mengulangi spekulasi etimologis yang pernah diajukan. Sebaliknya, ia menawarkan analisis rinci tentang penggunaan internal al-Quran atas kata tersebut dan menyanggah klaim etimologis yang dihasilkan kesarjanaan sebelumnya.
Bagi Rippin, kata ḥanīf merujuk pada sifat dasar manusia ketika ingin mengabdi kepada Tuhan. Interpretasi ini diperoleh setelah mengamati konteks kata tersebut dalam al-Quran. Menurutnya, sedari awal, kata ḥanīf sudah berbaur dengan konteks sosial dan ritual agama secara umum, dan kata tersebut kembali hadir dalam al-Quran sebagai sebuah ideologi yang terilhami dari kisah Ibrahim, kemudian istilah itu digunakan oleh umat Muslim.
Pujian Saleh atas Ripin terletak pada model interpretasinya saat melihat awal kemunculan kata tersebut dalam al-Quran. Hasilnya, tanpa menggunakan pendekatan etimologis, justru dapat diketahui bagaimana dan untuk apa kata tersebut digunakan. Lantas, bagi Saleh, penelitian Rippin ini menjadi bukti bahwa etimologis terkadang tidak diperlukan untuk mencapai pemahaman yang tepat tentang istilah dalam al-Quran.
Saleh menilai bahwa sarjana modern hanya memilah-milah bahasa serumpun yang dianggap cocok, kemudian digunakan untuk memecahkan istilah asing dalam al-Quran. Begitupun dengan analisis historis untuk melacak asal muasal kata, perlu dipertanyakan apakah metodę ini benar-benar dapat membantu memahami istilah al-Quran? Saleh tidak bisa menutupi keresahannya, ketika di saat sekarang studi etimologi kian marak dan membuat banyak sarjana baru takjub, sekaligus lupa bahwa kajian etimologis yang pernah ada, cenderung tendesius dan tidak didasari fondasi ilmiah yang kuat.
Dua tokoh orientalis yang menurut Saleh telah salah melangkah dalam mengakomodir prinsip-prinsip kajian etiomologis dalam al-Qur’an dalam Michael Cook (lahir 1940) dan Christoph Luxenberg.
Michael Cook (l. 1940), menurut Saleh, adalah seorang non-spesialis dalam studi al-Quran. Dalam karyanya berjudul The Koran: A Very Short Introduction yang terbit pada tahun 2000 di Oxford University Press, Cook menjelaskan bahwa kata ṣirāṭ (seperti dalam QS. 1:6) berasal dari bahasa latin Romawi yaitu ‘strata’ yang berarti “jalan lurus yang beraspal”. Menurut Cook, kata ini kemudian diadopsi oleh bahasa Arab menjadi ṣirāṭ dan bahasa Inggris menjadi street. Cook menilai bahwa kata ṣirāṭ dalam al-Qur’an hanya digunakan pada konteks agama, dan tidak memiliki bentuk plural.
Gagasan Cook ini dinilai Saleh terlalu elementer dan berani. Setidaknya ada tiga bantahan Saleh terhadap premis Cook. Pertama, filolog Arab abad pertengahan sadar jika kata tersebut adalah asing, jadi ini bukan pengetahuan baru. Kedua, ketika Cook menilai kata tersebut hanya berbicara soal religius dalam Islam, Saleh menganggap Cook tidak membaca bagaimana istilah tersebut digunakan al-Quran dalam ayat lain, misalnya QS. 7:86 atau QS. 36:66, yang secara tekstual tidak digunakan dalam konteks agama.
Hal penting lain yang tidak disadari oleh Cook, menurut Saleh, adalah bahwa kata tersebut digunakan 46 kali dalam al-Quran dengan beragam derivasinya, tidak terbatas pada surah QS. 1:6 saja. Bahkan, dalam surah al-Fatihah itu sendiri ada dua kata ṣirāṭ yang luput dari penjelasan Cook; belum lagi kata lain yang semakna, seperti kata sabīl (jalan) yang juga banyak disebutkan dalam al-Qur’an.
Ketiga, anggapan Cook bahwa kata ṣirāṭ tidak memiliki bentuk plural, jelas keliru. Menurut Saleh, dalam kamus-kamus bahasa Arab menengah seperti al-Munjid, ditemukan bentuk plural dari ṣirāṭ yaitu ṣuruṭ. Dengan sedikit satir, Saleh menegaskan bahwa seandainya Cook, menganggap literatur tafsir pun tidak mengulas bentuk ini, maka Cook perlu menyimak penjelasan mufassir, seperti Zamakhsharī (1074-1143) dalam al-Kasysyāf.
Adapun Cristoph Luxenberg dalam karyanya berjudul Die syro-aramäische Lesart des Koran: Ein Beitrag zur Entschlüsselung der Koransprache, telah menempatkan sebagian besar istilah rumit dalam al-Quran berasal dari kosa-kata asing. Setidaknya ada dua premis besar dari Luxenbergh dalam pengantarnya: 1) bahwa bahasa al-Quran bukanlah bahasa Arab 2) bahwa kosa-kata al-Quran berasal dari bahasa Syro-Aramaik dan ajarannya diambil dari tradisi Kristen Suriah.
Menurut Saleh, pola yang dibangun Luxenberg untuk memgklaim bahwa bahasa al-Quran bukan bahasa Arab adalah menyalahkan tradisi tafsir yang ia anggap gagal memberikan makna yang jelas. Tinjauan kegagalan itu, ia ambil dari kalimat Ṭabarī (w. 923) dalam Jāmiʿ-l-Bayān, yakni ikhtalafa ahl-l-taʾwīl fī taʾwīl dhālika. Bagi Luxenberg, frasa tersebut adalah bukti kegagalan mufassir, yang sering plin-plan dalam memberikan makna. Selanjutnya, ia meng-klaim kata terkait sebagai pinjaman dari bahasa Suriah.
Untuk menganulir asumsi Luxenberg, Saleh memberikan contoh acak, yaitu QS. 7:17 dan 26. Ṭabarī membuka penjelasan kedua ayat ini dengan kalimat ikhtalafa ahl-l-taʾwīl fī taʾwīl dhālika, meskipun pada keduanya tidak ditemukan kosa-kata yang bisa disebut rancu, asing, ataupun pinjaman. Luxenberg sendiri tidak memasukkan kata-kata dalam kedua ayat tersebut sebagai kosa-kata yang berasal dari Syiria. Ini berarti bahwa perbedaan pandangan tafsir atas satu kosa-kata tidak lantas mengindikasikan bahwa kosa-kata terkait adalah pinjaman dari bahasa asing. Jelas, Luxenberg keliru memahami retorika Ṭabarī.
Dari perspektif historis, Luxenberg memilih bahasa Syiria sebagai solusi untuk menjawab persoalan kata-kata rumit al-Qur’an, karena ia menganggap al-Qur’an berkembang dibawah hegemoni Suriah, yang bahasa dan aksaranya lebih dahulu ada daripada bahasa Arab. Selain itu, ia juga mengklaim bahwa sebagian besar masyarakat Arab awalnya beragama Kristen dan berinteraksi dengan bahasa agama tersebut.
Saleh memandang pilihan Luxenberg sebagai arbitrer dan ahistoris. Jika Luxenberg menjelaskan secara keseluruhan situasi dan kondisi di serumpun Semit, maka ada bahasa-bahasa lain yang berkembang jauh lebih dahulu dari Arab, superti Nabatean, yang menurut Nöldeke (1836-1930), Adolf Grohman (1887-1977) dan Beatrice Gründler (Berlin, lahir 1964) sangat mempengaruhi tumbuh-kembang literasi Arab. Lagipula, menurut Saleh, masyarakat Arab yang dimaksud Luxenberg juga tidak jelas dan membingungkan. Ketidakseriusan Luxenbergh juga terlihat dengan mengabaikan literatur penting para ahli yang tidak dicantumkan dalam bibliografinya.
Kritik Saleh terhadap kecenderungan Kalian etimologis yang asal-asalan tidak bisa menghapus fakta bahwa kajian ini tetap eksis hingga sekarang. Terlebih, langkanya intelektual muslim yang mempelajari paleografi, arkeologi, dan epigrafi, serta minimnya bukti tekstual maupun material pra-Qur’anic, menjadikan kajian etimologis masih bertaji.
Pun demikian, Saleh berulang kali menegaskan bahwa untuk menemukan makna yang tepat dalam al-Quran, terlebih dahulu, seorang peneliti harus menyelami internal al-Quran itu sendiri, yakni dengan mempelajari semua istilah yang terkait secara keseluruhan, dan membiarkan al-Quran berbicara sesuai dengan konteksnya. Setelah itu, jika tidak ditemukan makna yang – sekiranya – tepat, maka boleh menggunakan materi eksternal selain al-Quran, asalkan materi tersebut relevan.
Di sini, Saleh memuji penelitian studi al-Quran yang telah dilakukan oleh beberapa Sarjana seperti, Hartwig Hirschfeld (1854-1934), Edmund Beck (1902-1991), MM Bravemann, Harris Birkeland (1904-1961), Toshihiko Izutsu (1914-1993), Angelika Neuwirth, Uri Rubin, Andrew Rippin, John Wansbrough (1921-2002), dan bahkan Arthur Jeffery, karena di tangan mereka, etimologi mewujud sebagai metodologi yang komprehensif, detil, tidak tergesa-gesa, dan tidak sekedar mencari sensasi.
How to cite this Article: SM. Fahmi Azhar,“Walid Saleh dan Trend Riset Penelusuran Kosa Kata ‘Asing’ dalam al-Qur’an”, studitafsir.com (blog), July 25, 2021 (+ URL dan tanggal akses).
Artikel yang direview, Bisa didowlnoad di sini.