Terjemahan Harfiyyah dan Tafsiriyyah Yang Dinilai Utopis

Oleh: I’syatul Luthfi

 

“Klasifikasi antara harfiyyah dan ma’nawiyyah bukanlah klasifikasi yang operatif sebagai perangkat analisis sebuah terjemahan” (h. 183)

 

Pernyataan di atas adalah posisi intelektual Fadhli Lukman (UIN Sunan Kaljaga) dalam memahami teori terjemahan Al-Qur’an. Pernyataan Fadhli terbilang sangat PD lantaran ulama Ulumu al-Qur’an selevel al-Zarqani (w. 1367 H), al-Zahabi (w. 1397 H) dan al-Qattan (w. 1460 H)  mengklasifikasi terjemahan ke dalam terjemahan harfiyyah dan ma’nawiyyah  dan klasifikasi model ini sudah diamini oleh hampir seluruh intelektual muslim. Pernyataan tersebut digaungkannya dalam sebuah artikel yang berjudul  Studi Kritis Atas Teori Tarjamah Al-Qur’an dalam Ulumu Al-Qur’an (terbit 2016). Dalam artikel tersebut dia melakukan uji coba kritis terhadap teori terjemahan para ulama ke beberapa Al-Qur’an terjemahan yang ada di Indonesia. Tidak hanya melakukan uji coba kritis, Fadhli juga mendobrak epistimologi teori terjemahan al-Qur’an yang telah berakar kuat dalam ulum al-Quran klasik dengan melakukan pembaharuan teori terjemahan. Fadhli adalah sarjana pertama Indonesia (jika boleh dikatakan demikian) yang berani mengobrak-abrik teori ulumul al-Qur’an yang dinilai sangat sakral dan telah final oleh sebagian besar sarjana muslim.

Makna Tarjamah Al-Qur’an

Fadhli mengawali artikelnya dengan penjelasan makna tarjamah (terjemahan). Dia menjelaskan bahwa makna tarjamah  tidak sesempit yang dipahami oleh sebagain besar kalangan dengan ‘pengalihan bahasa’.Dalam mengelaborasi makna tarjamah, dia cenderung menghindari mengutip pendapat para ulama karena tentu maknanya telah mengalami distorsi pemahaman.

Makna tarjamah didiskusikannya melalui literatur kebahasaan dan karya-karya ulama yang menggunakan term tarjamah. Tarjamah sebagai kata kerja bermakna pengalihan bahasa (translation). Ia juga dapat bermakna menafsirkan, menginterpretasi dan menjelaskan. Tarjamah juga dapat diartikan dengan ‘menulis biografi’ karena beberapa buku biografi berjudul tarjamah. Salah satu derivasinya adalah turjuman dan tarjuman yang diartikan sebagai penerjemah, pemandu (guide) dan juru bicara. Sebagai kata benda ia bermakna terjemahan, penjelasan, prakata (pada buku), biografi, dan lain-lain.

Fadhli menegaskan bahwa praktek tarjamah bukan barang baru, ia sudah dipraktekkan sejak era pewahyuan. Untuk mendukung argumennya, ia merujuk defenisi tarjamah dari al-Zarqani (w. 1367 H). Menurut al-Zarqani tarjamah terdiri dari empat makna, pertama, menyampaikan berita kepada orang yang belum dikenal, kedua, menjelaskan suatu bahasa dengan bahasanya, ketiga, menjelaskan suatu ungkapan dengan bahasa lain, keempat, memindahkan suatu ungkapan dari satu bahasa ke bahasa lain. Makna terjemah pertama dan kedua menurutnya sudah dilakoni sejak masa pewahyuan sedangkan makna ketiga dan keempat baru muncul belakangan ketika Islam telah tersebar ke luar daerah Arab.

Klasifikasi Tarjamah yang Kompleks Antar Ulama

Fadhli mefokuskan artikelnya pada tiga teori tarjamah para ulama, yaitu Manna’ Khalil al-Qattan (w. 1460 H), Muhammad Husain al-Zahabi (w. 1397 H), dan Muhammad ‘Abd al-‘Azim al-Zarqani (w. 1367 H). Secara garis besar ketiga ulama terebut mengklasifikas terjemahan ke dalam dua kategori, yaitu tarjamah harfiyyah dan tafsiriyyah.

Akan tetapi, menurut Fadhli mereka mempunyai batasan dan definisi yang terbilang ketat dan rumit. Al-Qattan misalnya yang membagi teori tarjamah ke dalam tiga tipologi (tarjamah harfiyyah, tarjamah maknawiyyah (terdiri dari makna asliyyah dan makna sanawiyyah) dan tarjamah tafsiriyyah.

Tarjamah harfiyyah adalah menerjemahkan al-Qur’an dengan menjaga kesesuaian gramatikal bahasa asal.  Terjemahan model ini menurut al-Qattan tidak mungkin diaplikasikan karena setiap bahasa memiliki struktur gramatikal yang tidak dimiliki oleh bahasa lain.

Adapun hukumnya bagi al-Qattan adalah haram, dalam artian sebuah terjemahan dari kata tertentu dari Al-Qur’an tidak boleh dianggap sebagai Al-Qur’an. Dan siapa saja yang menerapkan terjemahan model ini berarti dia telah mengeluarkan Al-Qur’an dari eksistensinya.

Kedua, terjemahan maknawiyyah (terdiri dari makna asliyyah dan makna sanawiyyah) bersifat tidak direkomendasikan oleh al-Qattan karena makna asliyyah (literal) yang dikandung Al-Qur’an memiliki banyak kemungkinan makna. Jika hanya menggunakan satu makna, maka dinilai telah mereduksi makan al-Qur’an, sedangkan makna sanawiyyah (makna yang menjadikan Al-Qur’an superior dan mengandung kemukjizatan). Menurutnya sangat rumit diaplikasikan karena kedalaman bahasa Arab.

Terjemahan model pertama dilarang dan tarjamah model kedua bersifat tidak direkomendasikan, maka jalan terakhir bagi al-Qattan adalah menerjemahkan Al-Qur’an dengan model tarjamah tafsiriyyah. Fadhli berargumen bahwa al-Qattan sebenarnya cenderung melarang menerjemahkan Al-Qur’an dan lebih merekomendasikan penafsirasn al-Qur’an.

Alih-alih memisahkan  terjemahan ke dalam maknawiyyah dan tafsiriyyah seperti yang dilakukan al-Qattan, Muhammad Husain al-Zahabi (w. 1397 H) mengklasifikasi terjemahan ke dalam dua kategori, yaitu tarjamah harfiyyah bi al-misl dan tarjamah harfiyyah bi ghairi al-misl.

Tarjamah harfiyyah bil mishl adalah menerjemahkan Al-Qur’an ke bahasa lain dengan gramatikal  bahasa yang persis sama dengan asal bahasa tujuan, bahasa asal diganti ke bahasa tujuan dengan mencakup seluruh makna pada setiap struktur bahasa asal, sedangkan tarjamah harfiyyah bi ghairi al-mishl sedikit longar dari yang pertama, namun dibatasi kesesuaian bahasa tujuan.

Bagi al-Zahabi terjemahan maknawiyyah dan tafsiriyyah adalah  sama. Keduanya sama-sama menjelaskan maksud ayat dengan bahasa yang berbeda, tanpa beban untuk menjelaskan seluruh cakupan makna. Dia mengkategorikan keduanya  (tarjamah maknawiyyah atau tarjamah tafsiriyyah) bukan bagian tarjamah, melainkan tafsir atau yang disebut al-Zahabi dengan tafsir bi ghair lughatih.

Selanjutnya adalah teori terjemahan dari al-Zarqani (w. 1367 H). Tidak jauh berbeda dengan teori tarjamah dua tokoh di atas, al-Zarqani juga berangkat dari tarjamah harfiyyah dan tarjamah tafsiriyyah, tapi, tidak serumit klasifikasi kedua tokoh sebelumnya. Menurut al-Zaraqani, perbedaan tarjamah harfiyyyah dan tafsiriyyah hanya terletak pada kelonggaran masing-masing. Jika harfiyyah sangat ketat dengan gramatikal bahasa asal, maka tidak dengan tafsiriyyah.

Sebagimana al-Zahabi, Al-Zarqani juga memberi perhatian besar tehadap perbedaan tarjamah dan tafsir, yaitu: Pertama, tarjamah harus patuh dengan kesepadananan kata bahasa asal dan bahasa tujuan, sedangkan tafsir bertugas menjelaskan baik secara global atau rinci maksud ayat. Kedua, sebuah terjemahan bersifat independen dari teks asal, maksudnya teks terjemahan hanya produk alih bahasa, dan setelah sempurna ia bisa dipisahkan dari teks asal. Tapi, tidak dengan tafsir, tafsir akan selalu terkait dengan teks asal.

Ketiga, hasil terjemahan tidak boleh mengandung penyimpangan makna dari bahasa asal, sementara tafsir mungkin saja mengandung unsur penyimpangan. Keempat, hasil terjemahan mestinya menciptakan kepuasan hati pembaca karena sudah mengalihbahasakan sebuah teks dengan sempurna, sedangkan tafsir tidak menuntut kepuasan hati, karena penjelasannya yang mendalam sehingga  sangat mungkin menimbulkan rasa ingin tahu pembaca.

Penjelasan di atas menujukkan sisi keunggulan Fadhli karena dia sangat lihai memahami serta mendiskusikan teori tarjamah ulama yang kompleks menjadi sederhana. Sisi lain keunggulan Fadhli adalah keahliannya memilih objek kajian yang dinilai sederhana dan telah final, tapi ketika didiskusikan ulang dan diuji coba ternyata masih meninggalkan kejanggalan seperti yang akan dijelaskan di bagian selanjutnya.

Apikasi Teori Tarjamah yang Utopis

Setelah menjelaskan tipologi teori tarjamah dari para ulama, Fadhli kemudian menguiji teori tersebut ketiga Al-Qur’an terjemahan di Indonesia: Tafsir Al-Qura’an al-Karim karya Mahmud Yunus, Alqur’an dan Terjemahnya Kementerian Agama Republik Indonesia, dan Alqur’an dan Maknanya karya Quraish Shihab. Dalam uji coba tersebut Fadhli menggunakan beberapa contoh ayat:

  1. al-Isra: [17] 29: Wala taj’al yadaka maghlulatan ila ‘unuqika wa la tabsutha kulla al-basti

Term yadun, ‘unuq dan tabsut pada ayat di atas diterjemahkan oleh ketiga penerjemah secara literal: tangan, leher dan melepaskan. Terjemahan model ini jika merujuk ke teori al-Zhabi dan al-Zarqani disebut tarjamah harfiyyah. Akan tetapi, menurut Fadhli hal ini kurang tepat karena aspek gramatikal seperti dhamir, ittisal dan intiqa’ tidak terakomodasi dalam terjemahan, padahal perbedaan antara terjemahan harfiyyah dan tafsiriyyah terletak pada ketaatan gramatikal yang persis sama dengan bahasa asal. Adapun makna ayat di atas sebagai larangan kikir dan boros disiasati oleh ketiga penerjemah dengan menulis penjelasan tambahan di bagian footnote atau dalam teks terjemahan itu sendiri.

  1. al-Hijr [15]: 9 : Inna nahnu nazzalna al-zikra wa inna lahu lahaafizun

Tidak jauh berbeda dengan ayat QS. al-Isra: [17] 29, dimana ketiga penerjemah berupaya menerjemahkan ayat dengan makna literal. Akan tetapi, pada term al-zikra ketiga penerjemah menujukkan sikap yang saling berbeda satu sama lain. Mahmud Yunus menerjemahkannya dengan ‘peringatan’ dan dilengkapi dengan penjelasan tambahan yang ditulis di dalam  kurung. Quraish Shihab memilih tidak menerjemahkan, tapi menuliskan kata tersebut dalam bentuk transliterasi ke dalam bahasa indonesia. Sedangkan al-Qur’an dan Terjemahannya Kementerian Agama langsung menerjemahkan kata tersebut dengan’ al-Qur’an’.

Pada ayat ini Fadhli membuktikan bahwa ketiga penerjemah tidak menerapkan teori tarjmah yang telah dirancang oleh para ulama, Mahmud Yunus mengungkap secara langsung maksud literal ayat, Quraish Shihab memilih tidak menerjemahkannya, sedangkan Al-Qur’an Kementrian Agama berpaling dari tarjamah harfiyyah.

  1. Yasin [36]: 19: Qaalu Taairukum ma’akum ain dhukkirtum bal antum qaumun musrifuun

Term taairukum pada ayat di atas secara literal bermakna burung, akan tetapi ketiga penerjemah secara serentak menerjemahkannya dengan ‘kesialan’ karena pada zaman jahliyyah burung merupakan simbol kesialan. Jika pada contoh pertama dan kedua ketiga penerjemah berusaha menerjemahkan ayat sedekat mungkin dengan makna literalnya, maka pada contoh ketiga hal tersebut tidak tampak sama sekali. Ketiga penerjemah lebih memilih menerjemahkan makna dibalik ayat tersebut.

Contoh-contoh di atas menujukkan bahwa ketiga penerjemah berusaha menerjemahkan ayat sedekat mungkin dengan tarjamah harfiyyah, tapi di beberapa ayat justru keluar dari defenisi tarjamah harfiyyah yang diajukan para ulama. sehingga menggolongkan salah satu atau ketiga karya ke tarjamah harfiyyah atau tafsiriyyah akan menimbulkan kebingungan.Fadhli menawarkan ketiga karya tersebut dikategorikan dengan tarjamah ma’nawiyyah versi al-Qattan, al-tafsir al-Qur’an bi ghairi lughatih versi al-Zahabi, dan tarjamah tafsiriyyah versi al-Zarqani.

Menurutnya kategori ini menimbulkan problem karena mengacu ke teori terjemahan al-Qattan, al-Qattan hanya membolehkan tarjamah tafsiriyyah dan pada kenyataannya tidak ada indikasi ketiga terjemahan  mengacu ke sebuah tafsir. Sedangkan menurut al-Zahabi ketiga terjemahan di atas adalah al-tafsir al-Qura’n bi ghairi lughatih, sementara menurut al-Zarqani ketiga Terjemah di atas adalah tafsir. Sayangnya, semua orang tetap menganggap ketiga karya tersebut sebagai terjemahan bukan tafsir.

Problem di atas menurut Fadhli bermula dari beberapa faktor: Pertama, keterpakuan pada fitur kesepadanan (equivalence) bahwa terjemahan harus sesuai dengan bahasa asal dan sebuah terjemahan adalah wujud teks baru dengan makna yang sama dengan teks Al-Qur’an. Kedua, adanya beban teologis bahwa al-Qur’an adalah kalam Tuhan yang mengandung i’jaz, sementara terjemahan adalah karya manusia. Beban teologis inilah yang menurut Fadhli melahirkan fitur kesepadanan (equivalence) yang tidak mungkin diaplikasikan. Ketiga, defenisi tarjamah yang sangat kaku sehingga melahirkan klasifikasi dan aplikasi yang utopis.

Tawaran Fadhli (Kesimpulan)

Menurut Fadhli problem di atas dapat diselesaikan dengan cara yang sederhana, yaitu dengan memperluas makna tarjamah. Tarjamah semestinya tidak dimaknai sebatas pengalihan bahasa dengan beban equivalence. Makna tarjamah sebagai penafsiran, interpretasi  dan penjelasan sebaiknya juga diaplikasikan, sebagaimana tafsir yang berupaya menjelaskan Al-Qur’an, tarjamah juga memilki tujuan yang sama.

Fadhli juga menawarkan agar makna tarjamah disandingkan dengan kata hermeneutika karena hermeneutika juga mengandung makan menafsirkan, menginterpretasi dan menjelaskan. Makna tarjmah sebagai hermeneutika menurut Fadhli sepadan dengan makna tarjamah yang dijelaskan al-Zaraqani, perbedaanya al-Zaraqani memisahkan antara penjelasan bahasa asal dan bahasa tujuan (Tapi, dia tetap terjebak dengan klasifikasi dan makna tarjamah yang sempit).

Tawaran Fadhli sejalan dengan gurunya, Johanna Pink, seorang profesor dari Jerman yang menasbihkan dirinya dalam kajian tafsir nusantara. Dalam artikelnya yang berjudl The “kyai’s” voice and the Arabic Qur’an; Translation, orality, and print in modern Java (2020), Pink menilai, adalah suatu kekeliruan jika menganggap karya-karya terjemahan Al-Qur’an berbahasa Jawa yang lahir dalam konteks pedagogis sebagai karya terjemahan (pengalihan bahasa) karena pada hakikatnya karya-karya tersebut melampaui karya terjemahan sebagai pengalihan bahasa, dengan alasan dalam proses penerjemahan si penerjemah banyak memasukkan informasi implisit yang tidak terekam oleh teks al-Qur’an sadar maupun tidak sadar, yang pada saat itu sebenarnya dia sedang melakukan penafsiran.

Oleh sebab itu, Pink mengusulkan agar konsep tarjamah diperluas maknanya menjadi penafsiran. Kesimpulan akhir antar guru dan murid ini saling menguatkan, tapi dalam ranah yang berbeda. Fadhli berada pada ranah Al-Quran terjemahan bahasa Indonesia, sedangakan Pink berada pada ranah Al-Quran terjemahan bahasa Jawa.

Konsekuensi dari perluasan makna ini adalah tidak diperlukan lagi kesepadanan yang kaku dalam tarjamah dan sebuah terjemahan tidak harus dianggap sebagai teks baru dengan makna yang sama dengan Al-Qur’an sehingga bisa menggantikan peran religiusnya.

Tidak hanya itu,  perluasan makna ini akan berimplikasi untuk menghilangkan klasifikasi tarjamah harfiyyah dan tafsiriyyah. Sampai pada titik ini kepedean Fadhli  di awal bukan asbun (asal bunyi) dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Perluasan makna tarjamah yang ditawarankan Fadhli sudah berumur 6 tahun sudahkah tawaran ini direalisasikan di bangku kuliah? Jawabannya hanya bisa dijawab oleh masing-masing dosen dan mahasiswa sebagai pengkaji al-Qur’an.

 

How to cite this Article: I’syatul Luthfi, “Terjemahan Harfiyyah dan Tafsiriyyah Yang Dinilai Utopis, studitafsir.com (blog), Agustus, 23, 2022 (+ URL dan tanggal akses).

Share It :
Studi Tafsir
Studi Tafsir
Articles: 80

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *