Masa Depan Tafsir Klasik di Mata Kaum Reformis: Review Artikel Ervan Nurtawab
Oleh: Syamil Basyayif
Terdapat dua arus utama madzhab penafsiran al-Qur’ān di Asia Tenggara pasca abad ke-20. Pertama, madzhab tradisionalis dengan ciri khasnya mengedepankan tradisi kutip-mengutip referensi dari satu karya tafsir menuju tafsir lainnya. Madzhab ini mengkristal dalam tradisi penulisan syaraḥ dan ḥāshiyah. Di antara kitab tafsir yang paling merayakan tradisi ini adalah Tafsīr Jalālayn, yang pada titik tertentu, menduduki posisi tertinggi sebagai tafsir terpopuler di Asia Tenggara.
Madzhab kedua disebut madzhab reformis-modernis, sebuah madzhab yang dipengaruhi oleh gerakan reformasi Islam di Mesir yang dipelopori oleh Muḥammad ʿAbduh (1849-1905). Berbanding terbalik dengan madzhab awal, kaum reformis justru berusaha mendobrak tradisi kutip-mengutip karya klasik itu dan lebih menganjurkan umat Islam untuk menulis sebuah tafsir secara independen, merujuk langsung makna pada al-Qur’ān, dengan mengedepankan aspek ilmu pengetahuan modern dan teknologi mutakhir.
Artikel Ervan Nurtawab (Freiburg) yang saya ulas ini, berusaha mengkaji ulang kedudukan tafsir Arab klasik, khususnya Tafsir Jalālayn, dalam literatur tafsir modern di Indonesia, yang dalam hal ini direpresentasikan oleh Tafsir al-Qur’ān Karīm karya Mahmud Yunus (1899-1982). Argumen utama yang diajukan adalah bahwa Jalālayn mulai terpinggirkan dari literatur tafsir kaum modernis dan tidak lagi menjadi referensi pokok. Dengan kata lain, peran Jalālayn hampir tidak ditemukan dalam Tafsir Yunus. Untuk mencapai kesimpulan ini, Nurtawab mengomparasikan Tafsir Yunus dengan dua karya besar tafsir Asia Tenggara, yakni Turjumān al-Mustafīd dan Tafsir Melayu Syeikh Muhammad Sa’īd (SMS). Dua karya terakhir tergolong tafsir yang ditulis sebelum abad ke-20 dan mengikuti corak penulisan tafsir klasik, dimana nuansa Jalālayn di dalamnya amat kental.
Gerakan Islam reformis sendiri mulai masuk ke Asia Tenggara pada awal abad ke-20. Diantara jargon yang dikampanyekan adalah mengajak umat Islam untuk secara perlahan menyingkirkan pembahasan tentang qirā’āt, tata bahasa (nahwu-sharaf), dan utamanya narasi Isrā’iliyyat. Dua aspek awal ditinggalkan sebab sudah ada konvensi untuk menggunakan riwayat qirā’at Imam Ḥafṣ. Yang terakhir disingkirkan sebab narasinya tidak ilmiah dan sudah tidak relevan lagi untuk era modern. Alasan lainnya adalah karena pembaca modern lebih membutuhkan akses yang instan dan cepat terhadap makna al-Qur’ān. Sebagaimana yang digaris bawahi Johanna Pink (Freiburg), tafsir modern tidak berfungsi sebagai penyampai penjelasan, melainkan lebih independen dengan mengedepankan rasional. Kaum modernis mengampanyekan itu agar umat Islam berpikir lebih rasional dan logis, sehingga literatur tafsir modern lebih berani menyelaraskan nilai-nilai al-Qur’ān dengan penemuan sains modern. Ciri lain dari aliran ini adalah ketertarikannya dalam merespon problem sosial kontemporer.
Salah satu tafsir yang modernis yang diklaim oleh Peter Riddell, paling berpengaruh di Asia Tenggara adalah Tafsīr al-Qur’ān Karīm karya Mahmud Yunus. Alasannya, tafsir ini telah dicetak ulang hingga 31 kali pada tahun 1993. Ini merupakan karya pertama tafsir yang menggunakan aksara Romawi yang kala itu dianggap tabu, dikarenakan semangat nasionalisme Yunus yang tengah membara pasca peristiwa Sumpah Pemuda 1928. Dalam hal pemikiran, sebagai alumni al-Azhar, Yunus sangat modernis dan terpengaruh oleh pemikiran Muḥammad ʿAbduh, Rashīd Riḍā (w. 1953), dan Maḥmūd Shalṭūṭ (w. 1963).
Nurtawab melandaskan argumennya berdasar kajiannya atas penafsiran Yunus di beberapa ayat, di antaranya QS. [1]:7. Dalam frasa al-maghḍūbi ‘alayhim dan al-Ḍāllīn, Jalālayn secara tegas mengidentifikasi golongan pertama sebagai Yahudi dan golongan kedua sebagai Nasrani. Penafsiran yang sama direplikasi dalam Tarjumān dan Tafsir SMS. Sedangkan Yunus menafsirkan golongan pertama sebagai “Orang-orang yang menerima karunia kasih karunia ilahi, tetapi mereka salah menggunakannya dengan melakukan dosa-dosa seperti orang-orang kaya yang berjudi dengan uang hasil jerih payah mereka, minum alkohol, berzina dan sebagainya.” Dan golongan kedua ia artikan sebagai “Orang-orang yang menghabiskan uang, kekayaan, dan harta benda mereka dengan sia-sia.” Dengan dua penafsiran ini, mudah bagi kita menyimpulkan dua hal; bahwa Jalālayn memang sama sekali tidak dilirik oleh Yunus, dan bahwa penafsiran Yunus berorientasi pada membuat al-Qur’an berbicara tentang problematika sosial kontemporer dan menjadikan al-Qur’ān solusi atas masalah dunia modern.
Pola serupa Nurtawab temukan dalam penafsiran Yunus terhadap QS [2]:2, QS. [2]:5-6, QS. [2]:21, QS. [2]:30, dimana penafsiran dari Yunus sama sekali tidak pernah selaras dengan Jalālayn dan cenderung lebih mengikuti metode tafsīr al-Qur’ān bi al-Qur’ān dengan kecondongan terhadap keringkasan dan keumuman pemaknaan ayat. Cara tafsir Yunus menafsirkan ayat cenderung liar dan lepas dari konteks turunnya ayat dengan mengedepankan aspek kontekstualisasi, selaras dengan nilai modernisme. Seperti dalam QS. [2]:21, ketika Jalālayn menafsirkan yā ayyuha al-nās sebagai ahl Makkah (penduduk Mekkah), Yunus secara sederhana hanya menulis “Wahai manusia!”. Langkah ini dapat dipahami agar khiṭāb ayat tersebut mencakup khalayak yang lebih luas.
Uniknya, Nurtawab juga menemukan inkonsistensi Tafsir Yunus dalam mengimplementasikan nilai Islam Modernis. Alih-alih meninggalkan narasi Isrāiliyyāt sepenuhnya, Yunus masih mengutip narasi tersebut dalam beberapa tempat, seperti periwayatan kisah Dzulqarnain dan Ya’juj Ma’juj (Gog & Magog) dalam QS. Al-Kahf [18]:83-101. Sebagaimana sudah diduga, Jalālayn tidak digubris sama sekali oleh Yunus, yang lebih memilih kutipan dari al-Baghawī dengan sedikit penambahan dari al-Khāzin dan al-Bayḍāwī.
Untuk melengkapi analisanya, Nurtawab membandingkan Yunus dengan penafsir modernis lain yang menurut Nurtawab lebih konsisten, HAMKA (w. 1981). Hamka dengan al-Azhar secara tegas tidak menarasikan kisah Dzulqarnain berdasarkan riwayat Isrā’iliyyat.
Berbeda dengan Nurtawab yang membaca temuan ini sebagai inkonsistensi Yunus, saya lebih bisa menolerir langkah ini sebagai pengambilan sudut pandang yang berbeda. Bahwa memang kisah Dzulqarnain dan Gog & Magog sarat dengan aura Isrāiliyyat. Saya menduga Yunus tidak membacanya sebagai bagian dari Isrāiliyyat yang harus ditolak, melainkan sebagai bukti keselarasan ajaran al-Qur’ān dengan fakta sejarah dunia -setidaknya menurut apa yang Yunus yakini sebagai kebenaran-. Hal ini berdasarkan diksi yang ia cantumkan di awal kisah, “yang kisahnya terkenal dalam buku-buku sejarah dunia”. Saya menduga bahwa Yunus mempercayai bahwa Dzulqarnain adalah Alexander dari Makedonia, hingga ia merasa perlu untuk mencantumkan narasi ini karena sesuai dengan salah satu nilai yang digaungkan kaum modernis yang lain; menafsiri berdasarkan bukti ilmiah. Dengan sudut pandangan ini, langkah Yunus untuk memasukkan kisah Dzulqarnain ini masih bisa dimaafkan.
How to cite this Article: Syamil Basayif, “Masa Depan Tafsir Klasik di Mata Kaum Reformis: Review Artikel Ervan Nurtawab”, studitafsir.com (blog), Mei 7, 2024 (+ URL dan tanggal akses).
Detail buku yang direview: Nurtawab, Ervan. “Tafsīr Al-Jalālayn at the Crossroads: Interpreting the Qur’ān in Modern Indonesia.” Australian Journal of Islamic Studies 6, no. 4 (2021): 4-24.