
Dua Contoh Betapa Menariknya Kajian Tafsir Era Klasik dan Pertengahan
Oleh: Annas Rolli Muchlisin
Survey yang dilakukan oleh Mu’ammar Zayn Qadafy terhadap artikel Jurnal Nun beberapa waktu lalu menunjukkan minimnya minat dan perhatian sarjana Indonesia terhadap literatur-literatur tafsir periode klasik dan pertengahan. Dalam Jurnal Nun, tema ini adalah yang paling tidak difavoritkan oleh para penulis. Muammar menggaris-bawahi bahwa kajian serupa justru sedang naik daun di akademisi Barat.
Mengapa bisa seperti ini?. Walid Saleh (Toronto) pernah menyayangkan hal serupa. Ia menulis, “di antara sub-bidang studi Islam, studi tafsir klasik mendapatkan porsi perhatian dan minat paling sedikit di antara para peneliti Islam.” Ada setidaknya dua alasan yang disampaikan Saleh. Pertama, karya-karya tafsir klasik seringkali ditulis berjilid-jilid tebal dan masih banyak tafsir yang belum diterbitkan. Hal ini membuat peneliti harus mengerahkan tenaga ekstra, jika perlu untuk turut pula men-tahqiq manuskrip terlebih dahulu.
Kedua -dan ini yang paling penting- adalah bahwa kitab tafsir al-Qur’an jarang dijadikan referensi dalam merekonstruksi sejarah intelektual Islam masa klasik dan abad pertengahan. Tafsir klasik sering dipandang sebagai karya yang hanya dipenuhi pengulangan informasi, tidak memuat informasi ‘baru dan berbeda’, serta membosankan. Padahal, tandas Saleh, ‘pengulangan’ adalah sifat dasar tafsir karena penulis baru tafsir harus berinteraksi dengan karya-karya eksegesis sebelumnya. Inilah yang Saleh sebut sebagai tradisi geneologis (genealogical tradition). Meski demikian, bukan berarti tidak ada sesuatu yang baru dan inovatif dalam sebuah karya tafsir klasik.
Saleh dan al-Biqā’ī (w. 1480)
Untuk menunjukkan betapa menariknya kajian tafsir era klasik dan pertengahan, kita perlu mengetengahkan beberapa tren kajian yang berkembang dalam konteks akademia Barat.
Saleh dalam sebuat tulisannya melakukan penelitian terhadap mufassir abad ke-15, al-Biqā’ī (w. 1480), yang menulis Naẓm-l-Durar fī Tanāsub-l-Ayāt wa-l-Suwar. Kitab tafsir ini sudah dikaji beberapa sarjana, khususnya terkait konsep munasabah-l-ayat, karena sesuai namanya, tafsir ini menitik beratkan pada korelasi antar ayat dan surah. Tetapi ada yang luput dari perhatian para sarjana, kata Saleh. Biqā’ī adalah penafsir yang secara terang-terangan berani mengutip Bibel (Perjanjian Lama dan Baru) dalam tafsirnya. Dalam menafsirkan QS. al-Baqarah: 32-34 tentang penciptaan Adam, misalnya, Al-Biqā’ī mengutip beberapa bagian dari Taurat. Ia menggunakan diksi seperti “ra’aitu fi tarjamatin li-l-taurah” (aku melihat dalam terjemahan Taurat) atau “hāḏā nash-l-taurah” (beginilah teks Taurat).
“Keterus-terangan” Biqā’ī ini segera menimbulkan kontroversi dan perdebatan. Sebagian sarjana menuduhnya telah “iẓhār-l-taurah wa ikhfā’ al-qur’an” (menampakkan Taurat dan menenggelamkan al-Qur’an), tetapi kemudian segera dibalas oleh al-Biqai melalui bukunya al-Aqwāl al-Qawīmah fi Hukm-l-Naql min al-Kutub al-Qadīmah yang berisi beberapa pembelaan dari beberapa ulama atas karyanya dan argumentasi mengapa metodenya sah. Salah satu alasannya adalah, mengutip Bibel untuk tujuan i’tibar atau mengambil kisah adalah boleh karena kisah dalam al-Qur’an hanya singkat sebagaimana para mufassir sebelumnya mengambil israiliyyat. Adapun untuk tujuan i’tibar juga sah sebagaimana kaum Muslim boleh mengambil hadis lemah (dha’if) untuk tujuan ini. Yang penting, kata Biqā’ī, tujuannya bukan untuk memutuskan suatu hukum Islam.
Lalu bagaimana dengan konsep taḥrīf? Bukankah doktrin Islam menegaskan telah terjadi perubahan dalam Kitab Suci sebelumnya? Biqā’ī menyebut empat pandangan berbeda: Pertama, yang paling ekstrem menyebut seluruh isi Kitab Suci sebelumnya telah diubah. Kedua, sebagian besarnya telah diubah. Ketiga, sebagian kecilnya yang diubah. Ini pendapat yang diamini Biqā’ī, bahkan menurutnya al-Syafi’i (w. 820) dan Ibn Hazm (w. 1064) berpandangan serupa. Keempat, yang mengalami perubahan bukan teksnya, tetapi maknanya karena ketidakmampuan pemeluk Yahudi dan Kristen memahaminya secara benar (tahrif al-ma’na). Menurut Francesca Lucchetta, Ibn Sina (w. 1037) adalah orang pertama yang menyatakan pandangan keempat ini.
Bagaimana? Menarik bukan melihat tafsir sebagai refleksi atas sejarah intelektual Islam? Jika ada yang berpendapat, itu kan benar karena tafsir al-Biqai adalah jenis tafsir bi al-dirayah yang memungkinkan masuknya ide-ide baru. Bagaimana dengan jenis tafsir bi al-riwayah yang hanya memuat riwayat-riwayat? Baik, untuk merespon ini, kita perlu melihat model penelitian lainnya.
Sirry dan Ulul Amr
Baru-baru ini, seorang intelektual Indonesia yang berkarya di Barat, Mun’im Sirry (Notre Dame) menerbitkan sebuah artikelnya tentang bagaimana konsep ‘ulul amri dalam QS. 4: 59 dan 83 dipahami oleh para penafsir awal. Dengan menelusuri tafsir-tafsir pada 600 tahun pertama dalam Islam, Sirry menemukan bahwa konsep ini banyak diperdebatkan oleh mufassir.
Beberapa mufassir Sunni, seperti Mujahid (w. 722) dan Hasan al-Basri (w. 728), berpendapat ‘ulul amri adalah ‘ulul fiqh fi al-din wa al-‘aql (Mujahid) atau ‘ulama (Hasan al-Basri). Sedangkan al-Suddin (w. 745) dan Muqatil ibn Sulaiman (w. 767) berpendapat terma tersebut lebih merujuk kepada ‘umara atau pemimpin militer. Di era selanjutnya, al-Tabari (w. 923) meriwayatkan empat macam tafsiran atas ‘ulul amri. Pertama, pemimpin militer. Kedua, ulama. Ketiga, para sahabat nabi. Keempat, hanya Abu Bakar dan Umar. Masing-masing pendapat diperkuat oleh berbagai riwayat, dan al-Tabari memilih yang pertama.
Sebaliknya, dalam tradisi tafsir Syiah, kata ‘ulul amri dipahami merujuk kepada Ali dan keluarganya serta para imam yang ma’shum dengan argumen bagaimana mungkin ayat tersebut memerintahkan taat kepada Allah, Rasul, dan ‘ulul amri jika yang dimaksud dengan ‘ulul amri adalah orang yang tidak terbebas dari dosa? Karena itu, bagi Syiah, ‘ulul amri adalah orang-orang yang ma’shum (terjaga dari dosa).
Sirry menutup artikelnya dengan menunjukkan bahwa hanya dalam tradisi tafsirlah konsep ‘ulul amri dikontestasikan sedemikian rupa, sedangkan dalam bidang lain konsep ini cenderung baku. Dalam literatur fiqh misalnya hampir ada kesepakatan bahwa ‘ulul amri adalah para ulama, sedangkan dalam literatur siyasah, seperti al-Ahkam al-Sultaniyyah, konsep ini ditujukan akan pentingnya seorang pemimpin dalam khilafah atau imamah.
Dengan demikian, benar kata Saleh, bahwa seorang yang ingin meneliti sejarah intelektual Islam tidak bisa tidak harus memperhatikan tafsir klasik. Mereka yang ingin mengetahui diskursus filsafat dan teologi Islam harus, misalnya, membaca tafsir al-Razi. Mereka yang ingin mendalami perkembangan tasawuf bisa menelaah, misalnya, tafsir al-Sulami dan al-Qusyairi. Begitu juga mereka yang ingin melihat diskursus hukum, bisa mendapatkan manfaat dari tafsir al-Qurtubi. Begitu sentralnya posisi tafsir klasik karena merefleksikan dinamika intelektual Islam. Sayang seribu sayang, kajian ini di tanah air, dalam bahasa Mu’ammar, “sudah tersudut di ujung ring tinju, satu pukulan telak akan mengakhiri riwayatnya.”
How to cite this Article: Annas Rolli Muchlisin, “Dua Contoh Betapa Menariknya Tafsir Era Klasik dan Pertengahan”, studitafsir.com (blog), July 2, 2021 (+ URL dan tanggal akses).