
Melepas Studi Tafsir dari Bayang-Bayang Studi Qur’an (Part 1): Perspektif IQSA
Oleh: Mu’ammar Zayn Qadafy
Bulan November Tahun 2021 lalu, saya berkesempatan mengikuti Konferensi tahunan IQSA di San Antonio. Presentasi saya adalah seputar kesadaran sejarah Ibn Atiyyah al-Andalusi (w. 1146) dalam proses menafsirkan al-Qur’an. Idealnya, kajian semacam ini masuk di panel ‘Tafsir‘. Sayangnya, panel ini tidak termasuk dalam tujuh panel yang diagendakan, meliputi: kajian sastra dan kebahasaan al-Qur’an, kajian surat tertentu, metodologi Studi Qur’an, manuskrip dan kritik tekstual, al-Qur’an dan tradisi biblikal, al-Qur’an dan Late Antiquity, serta al-Qur’an dalam ruang sosial. Singkat cerita, presentasi saya di panel metodologi Studi Qur’an menjadi yang paling berbeda (untuk tidak menyebut ‘nyeleneh‘) bahasannya.
Cara berpikir IQSA yang cenderung ignorant tentang studi tafsir bisa dilacak dari diskusi tokoh-tokohnya pada tahun 2015 silam mengenai -salah satunya- posisi kitab-kitab tafsir dalam memahami al-Qur‘an. Diskusi ini melibatkan Kecia Ali (Boston), Herbert Berg (North Carolina), Joseph Lumbard (sekarang HbKu Qatar), Nicolai Sinai (Oxford), Devin Stewart (Emory), Shawkat Toorawa (dulu Cornell) dan Farid Essack (Johannesburg). Bertindak sebagai notulen sekaligus analisator bincang-bincang ini adalah Karen Bauer (Oxford).
Roundtable Discussion ini mencakup beberapa topik, berkaitan dengan trend studi Qur’an belakangan. Dalam tulisan ini, hanya pembahasan-pembahasan yang berkaitan dengan posisi studi tafsir yang diulas.
Sebagai pembuka, diajukan sebuah pertanyaan dasar sebagai berikut: meski materi-materi yang diulas dalam Kitab-kitab Tafsir adalah ayat-ayat al-Qur’an, apakah tafsir, sebagai sebuah disiplin ilmu yang terus berkembang selama berabad-abad dalam iklim akademik-regional yang berbeda-beda, bisa benar-benar menambah pengetahuan kita tentang al-Qur’an?. Dengan kata lain, jika tafsir adalah sejatinya pemahaman mufassir tentang al-Qur’an, bukankah ia lebih tepat dikategorikan dalam sejarah penerimaan (reception history) atas al-Qur’an saja?
Pertanyaan ini, in it self, kontroversial, kalau unsur iman (confession) ikut dilibatkan dalam menentukan status kitab-kitab tafsir. Di satu sisi, menganggap materi-materi tafsir yang luar biasa banyak sebagai bagian dari sejarah intelektual umat Islam (sekaligus sejarah penerimaan mereka terhadap teks al-Qur’an) adalah sebuah kejujuran akademik. Artinya, perkembangan dan inovasi pemikiran (dalam hal ini mengenai al-Qur’an) adalah dua hal utama yang ditargetkan untuk diungkap. Ini adalah cara kerja standar dari penelusuran sejarah, apapun obyek kajiannya.
Di sisi lain, pendekatan berbasis iman (confessional approach) atas kitab-kitab tafsir itu jelas menaruh harapan besar agar makna-makna al-Qur‘an yang samar bisa dibuat terang-benderang. Ujung-ujungnya, kitab-kitab tafsir diposisikan sebagai penjelas dari al-Qur’an, sementara kaitannya dengan kondisi sosial masyarakat saat kitab-kitab itu dilahirkan tidak terlampau penting.
Nicolai Sinai sadar betul dengan dualitas tujuan dilakukannya studi atas kitab tafsir ini. Meski demikian, ia tetap meyakini kalau membaca kitab tafsir itu penting, dengan catatan bahwa seorang peneliti harus selalu bisa menyadari perbedaan antara apa yang disebut oleh al-Qur’an dan apa yang dijelaskan oleh -misalnya- Ṭabarī (w. 310/ 923). Dengan bahasa yang hiperbolis, Sinai mengibaratkan kitab-kitab Tafsir ini sebagai gudang referensi yang luar biasa besar (the immense reservoir of resources).
Optimisme Sinai diamini oleh Lumbard yang secara blak-blakan menuduh banyak teori-teori tafsir kontemporer diadopsi dari tradisi tafsir klasik. Lumbard memang terdengar lebay, tapi dia ada benarnya juga. Riset saya terhadap Tafsir Ibn ʿAṭiyyah telah mengungkap bagaimana tafsir kronologis, yang booming di akhir abad ke 20, bisa dilacak akarnya di al-Muḥarrar al-Wajīz yang adalah produk abad ke-12.
Devin Stewart mengajukan cara pandang yang agak berbeda dari Sinai dan Lumbard. Menurutnya, alasan di balik dilakukannya kajian atas tafsir adalah ‘kesungkanan‘ para sarjana studi Islam dengan umat Muslim yang tidak nyaman jika isu tentang asal-usul (origins) dalam pilar-pilar agama Islam terus dikaji. Riset-riset revisonis yang diinisiasi oleh Montgomery Watt (1909-2006) sudah cukup traumatik dan ‘mengganggu‘ bagi komunitas Muslim sehingga ada penolakan dari mereka terhadap upaya-upaya yang mencoba mengaitkan teks-teks Yahudi dan Nasrani dengan al-Qur’an.
Meski Stewart mengakui bahwa studi atas kitab-kitab tafsir itu sulit dan melelahkan, ia berasumsi kalau secara politis, studi tafsir adalah pelarian para sarjana dari keharusan mengkaji asal-usul al-Qur’an. Sebagai peminat retorika al-Qur’an, Stewart akan mengkaji kitab-kitab Tafsir hanya untuk mengungkap sejarah penerimaan atas al-Qur’an, bukan untuk menjelaskan al-Qur’an itu sendiri.
Adalah Toorawa yang mencoba untuk mengalihkan bahasan dari perlu tidaknya kajian atas kitab tafsir, dikaitkan dengan dikotomi pendekatan berbasis iman atau tidak. Menurutnya, penghubungan kedua hal ini kontraproduktif dengan sifat alami kajian akademik yang mengkultuskan ketelitian (rigorousness). Motivasi apapun seorang peneliti mengkaji kitab tafsir itu tidak penting bagi Toorawa. Asalkan peneliti tersebut teliti dalam membaca serta menganalisa data-data yang disuguhkan kitab tafsir, hasil kajiannya tentu bisa diterima dan akan disambut hangat.
Sampai di sini, jelas bahwa untuk melepaskan diri dari studi Qur’an, studi tafsir punya alasan yang lebih dari cukup. Jika yang pertama menekankan pada elaborasi atas teks dan sejarah al-Qur’an, yang kedua fokus pada sejarah penerimaannya di kalangan umat Islam. Dalam tupoksi ini, semua sarjana studi Islam saya kira akan setuju.
Apakah dua fungsi tersebut bisa dikawin-silangkan? Seperti memakai kitab-kitab tafsir untuk mengkaji formasi teks dan sejarah al-Qur’an?. Tokoh-tokoh IQSA, sebagaimana dalam rekaman diskusi di atas akan mengatakan ‘tidak bisa‘. Bagi mereka, materi-materi tafsir, termasuk di dalamnya variasi bacaan al-Qur’an (qirāʾāt) dan sabab al-nuzūl hanya merepresentasikan cara umat Islam merespon al-Qur’an. Kesemuanya adalah post-Qur’anic Materials.
Lalu bagaimana dengan akar masalah yang sampai titik ini belum terpecahkan (mengenai seberapa jauh iman akan mempengaruhi ketelitian seorang peneliti tafsir dalam membaca dan menganalisa data-data yang ia temukan)?. Adalah Pieter Coppens (Amsterdam) yang baru-baru ini mengusulkan kesimpulan yang serius, bahwa justru Studi Tafsir adalah disiplin keilmuan yang di dalamnya pendekatan berbasis iman dan non-iman bisa berdialog. Nantikan review kami selanjutnya tentang artikel Coppens.
Artikel yang dibahas: Karen Bauer, “The Current State of Qur’anicStudies: Commentary on A Rountable Discussion” (JIQSA 1, 2016)
How to cite this Article: Mu’ammar Zayn Qadafy, “Melepas Studi Tafsir dari Bayang-Bayang Studi Qur’an (Part 1): Perspektif IQSA”, studitafsir.com (blog), Maret 29, 2022 (+ URL dan tanggal akses).