
Mendaur Ulang “Muqaddimah” Ibn Taymiyyah (1263-1328): Review Artikel Younus Mirza
Oleh: Mu’ammar Zayn Qadafy
Artikel Younus Mirza (Georgetown University) ini melanjutkan episode pelacakan fragmen tertentu sejarah intelektual Islam melalui peran para editor buku di era modern, sebuah usaha yang belakangan mengkristal lewat karya-karya para orientalis seperti Ahmed el-Shamsy (lihat review atas bukunya berjudul rediscovering Islamic classics) dan Walid Saleh. Faktanya, kita tidak akan kesulitan untuk menemukan kutipan dari dua sejarawan ini (hal. 80, 81, 82, 84, 86, 88, 90, 92, 93, 94, 96) dalam artikel Mirza. Dalam taraf tertentu, kita bisa menyebut kesarjanaan yang diusung Mirza kali ini sangat Shamsian dan di saat yang sama Salehian.
Kali ini, sasaran uji materi sejarah Mirza adalah sebuah buklet yang jamak disebut sebagai Muqaddimah fī Uṣūl al-Tafsīr (pengantar dasar-dasar penafsiran al-Qur’an) dan dinisbahkan kepada pemikir besar dari madhhab hanbalī, Taqiyyuddīn Ibn Taymiyyah. Popularitas buklet ini disinyalir telah mengalami lonjakan berkali-kali lipat di era modern daripada apa yang ia raih ketika selesai ditulis oleh Ibn Taymiyyah, bahkan hingga beberapa abad setelah kematiannya. Lewat tangan dingin para historiografer salafī seperti al-Dhahabī (1915-1976), metode tafsir Ibn Taymiyyah yang sebenarnya “bid’ah” di masanya, tiba-tiba diakui sebagai model pemikiran mainstream kelompok sunnī (hal. 80).
Kesimpulan di atas bukanlah hal baru bagi mereka yang familiar dengan tulisan-tulisan el-Shamsy dan Saleh, tak terkecuali Mirza. Hanya saja, Mirza membawa kesimpulan ini ke level yang berbeda dengan melakukan kajian teks berbasis kritik sastra dan studi manuskrip. Lewat yang pertama, Mirza menelusuri penerimaan para Ulama era pertengahan terhadap buklet Ibn Taymiyyah. Sementara lewat yang kedua, ia mencari jejak-jejak sejarah yang ditapakkan oleh para editor manuskrip buklet ini, yang lalu mentransformasikannya ke dalam bentuknya yang sekarang.
Apa Sebenarnya yang ditulis Ibn Taymiyyah?
Penelusuran Mirza terhadap kitab-kitab karya Ibn Taymiyyah menunjukkan bahwa meski ia adalah seorang penulis prolifik, Ibn Taymiyyah bukanlah tipikal penulis sistematis dengan agenda intelektual yang terkonsep secara matang. Alih-alih, tulisannya cenderung berfungsi sebagai respon, jawaban atau komentar atas naskah-naskah tertentu yang ia baca dan atau kejadian-kejadian yang ia saksikan di masyarakat. Di satu sisi, ini menunjukkan bahwa nama muqaddimah pastilah bukan berasal dari Ibn Taymiyyah. Di sisi lain, sporaditas penulisan ini sesuai dengan sistematika Muqaddimah yang tidak tersusun rapi (disorganized) dan terkadang mengaburkan maksud ungkapan penulisnya sendiri.
Mirza lantas menelaah informasi tentang keberadaan buklet Ibn Taymiyyah ini dalam kamus-kamus biografi karya al-Birzālī (d. 739/1339) yang juga kolega Ibn Taymiyyah, al-Dāwūdī (w. 945/1538), Ibn Rajab al-Hanbalī (1335/1393), Ibn Baṭṭūṭah (w. 770/1368-1369), dan al-Ṣafadī (w. 764/1363). Tidak satupun dari mereka menyebut secara eksplisit bahwa Ibn Taymiyyah pernah menulis karya independen yang diberi judul “Muqaddimah”. Mirza meyakini bahwa apa yang kita terima saat ini sebagai buklet muqaddimah yang utuh, pastilah melampaui evolusi dari bentuk asalnya. Bisa jadi sebenarnya buklet itu adalah bagian kecil dari naskah yang secara kuantitas jauh lebih banyak lembaran-lembarannya, sebagaimana laporan murid Ibn Taymiyyah, Ibn Rushayyiq (w. 749/1349) (hal. 82).
Mirza juga mengamini ide tentang kemungkinan tambahan dari murid Ibn Taymiyyah, yaitu Ibn Kathīr (w. 1373), terhadap karya gurunya. Bab 5 dan bab 6 dalam Muqaddimah yang kita kenal saat ini adalah gubahan sang murid (hal. 91). Ini menjelaskan mengapa kutipan-kutipan dari muqaddimah dalam karya-karya Ibn Qayyim al-Jawziyyah (w. 751/1351) dan al-Zarkashī (w. 794/1392) muncul secara anonim dan dalam format yang sengaja memisahkan bab 5 dan bab 6 dari empat bab yang mendahuluinya (hal. 86).
al-Suyūṭī (w. 911/1505) memiliki peran penting dalam penerimaan masyarakat akademik terhadap karya Ibn Taymiyyah. al-Suyūṭī-lah yang secara lengkap mereproduksi bab 1 hingga bab 4 dari Muqaddimah, sebelum terlebih dahulu menampilkan isi bab 5. Ia jugalah yang menyebut secara eksplisit nama Ibn Taymiyyah dan melabeli karya yang ia kutip ini sebagai karya yang sangat berharga. Ini cukup menjadi alasan mengapa al-Durr al-Manthūr sangat berhutang budi pada radical hermeneutic Ibn Taymiyyah. Mirza meyakini, deskripsi al-Suyūṭī tentang muqaddimah lantas menjadi narasi standar ulama’ setelahnya.
Trio al-Shaṭṭī – Khatīb – Adnān Zarzūr
Mereka bertiga adalah para editor naskah muqaddimah yang punya jasa besar dalam mendaur-ulang posisinya di kalangan umat Islam modern. Masing-masingnya, menurut Mirza, memiliki peran yang unik.
Kisahnya dimulai dari seorang muftī Hanbalī dari Damascus, Muḥammad Jamīl al-Shaṭṭī yang menemukan sebundel manuskrip dengan muqaddimah termasuk di dalamnya. Dia lantas menemui Ṭāhir al-Jazāʾirī (1852/1920), seorang maniak buku-buku kuno yang juga “pemuja rahasia” Ibn Taymiyyah dan sangat terobsesi dengan karya-karya sang imam. Pada tahun 1931, al-Jazāʾirī men-supply al-Shaṭṭī dengan beberapa manuskrip muqaddimah yang menjadi koleksi pribadinya. Menariknya, al-Shaṭṭī butuh waktu 35 tahun setelah ia mendapat salinan al-Jazāʾirī untuk secara resmi menerbitkan muqaddimah lewat Dār al-Athār al-Waṭaniyyah, penerbit resmi negara Syria. Jika penerbitan Muqaddimah, jelas Mirza, seringkali dikaitkan dengan gerakan Wahhābī di negara Saudi, fakta menunjukkan bahwa penerbitan pertamanya dilakukan oleh negara Syria karena alasan nasionalisme (hal. 93).
Penerbitan Muqaddimah pada 1936 cenderung telat jika dibandingkan dengan penerbitan karya-karya klasik lain, membuktikan bahwa ia memang tidak pernah dimasukkan ke dalam kurikulum madrasah hingga setidaknya pertengahan abad ke-20. al-Ṣaṭṭī dan al-Jazāʾirī, entah mereka sadar atau tidak, telah mendobrak kemapanan kurikulum tafsir al-Qur’an di madrasah-madrasah yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Muqaddimah versi al-Ṣaṭṭī lantas disempurnakan oleh Muḥibb al-Dīn Khaṭīb (d. 1969), kali ini dipublikasikan oleh sebuah penerbit salafī di Mesir. Dalam artikelnya, Mirza menggaris-bawahi bias salafī Khaṭīb, dalam upayanya untuk mencari justifikasi radical hermeneutics Ibn Taymiyyah dalam tafsir al-Ṭabarī, sebuah pembahasan yang ia munculkan di akhir catatannya atas penerbitan ulang Muqaddimah (hal. 95).
Pada 1971, Adnān Zarzūr menerbitkan muqaddimah untuk ketiga kalinya bersama penerbit Dār al-Qurʾān al-Karīm (Kuwait), kali ini disertai dengan penjelasan tambahan (sharḥ), utamanya terhadap kata-kata teknis yang sulit dipahami oleh orang awwam, dan terhadap klaim-klaim yang diusung Ibn Taymiyyah. Dari segi judul, Zarzūr-lah yang mengganti kata qawāʿid al-tafsīr, sebagaimana ditemukan dalam publikasi terdahulu dan dalam manuskrip muqaddimah, dengan uṣūl al-tafsīr. Strategi ini cukup ampuh untuk meningkatkan popularitas muqaddimah, utamanya di kalangan para penikmat kajian uṣūl al-fiqh. Lebih dari itu, dengan diterbitkannya muqaddimah oleh penerbit di Kuwait, Zarzūr berhasil memperluas jangkauan muqaddimah yang awalnya berpusat di Syria dan Mesir, menjadi sampai juga ke negara-negara Teluk Arab.
Signifikansi Artikel Mirza untuk Pengembangan Studi Tafsir
Meskipun ditulis dengan urutan kronologis yang jelas, artikel Mirza tidak cukup mengesankan saya, utamanya karena narasi yang Mirza bangun lebih berupa kepingan-kepingan sejarah kecil yang disajikan secara bulat-bulat. Mirza tidak cukup menghibur pembaca yang menginginkan terungkapnya grand narative dari perjalanan panjang yang ditempuh oleh muqaddimah Ibn Taymiyyah. Tidak ada informasi yang mendalam tentang kontestasi antar metodologi tafsir yang terjadi di sepanjang fase sejarah yang dilalui oleh muqaddimah, model analisa yang menjadi ke-khas-an Saleh dalam setiap tulisan-tulisannya.
Kajian “kritik literatur” atau “sejarah buku” yang dihadirkan Mirza cukup rapi dan menjanjikan untuk dikembangkann lebih jauh. Keunggulan utama dari kajian semacam ini adalah kemampuannya untuk mengungkap secara diakronik perkembangan konsep yang dikandung oleh sebuah istilah tertentu. Meski demikian, jika tidak dianyam dengan baik, data diakronik yang tidak hanya banyak, tetapi juga lintas era ini akan nampak “berserakan” dan “patah-patah” argumennya. Inilah kesan yang saya dapati dari artikel Mirza. Kekayaan data yang dia sajikan cukup bisa dinikmati, tetapi tidak alur narasi yang ia bangun.
Saya memiliki tujuan lain dalam mengetengahkan review atas pemikiran Mirza ini, yaitu untuk mengangkat gagasan bahwa nampaknya pemakaian “epistemologi” sebagai pendekatan riset dalam kajian pemikiran tokoh atau buku tidak lagi relevan untuk terus dilakukan. Epistemologi memang cukup ampuh untuk menguliti cara berpikir seorang tokoh dalam karyanya, tetapi ia tidak cukup mampu untuk menarik benang merah genealogi antara karya yang sedang dikaji dengan karya-karya lain yang mungkin berkaitan.
Epistemologi bisa menjadi kerangka riset berbasis karya tafsir yang epik, jika ia tidak disempitkan ke dalam persoalan-persoalan teknis yang elementer, seperti pemahaman sang mufassir tentang hakikat tafsir, sumber yang ia pakai dalam menyusun karya tafsirnya, metode tafsir yang ia gunakan, serta validitas tafsir yang ia hasilkan. Empat jenis pertanyaan ini, saya lihat sudah menjadi template dalam kajian pemikiran. Kemampuan empat topik tersebut untuk mengungkap peristiwa sejarah terbatas pada apa yang ia tanyakan. Hasilnya, kita mendapati banyak kajian sejarah intelektual yang parsial dan atomistik, alih-alih serial dan holistik.
Hal lain yang juga penting dalam kajian Mirza adalah bagaimana manuskrip-manuskrip tafsir perlu diperiksa kembali, tidak hanya untuk meninjau ulang kualitas editorial para penerbit buku yang mempublikasikan versi cetaknya, tetapi juga untuk memastikan tidak ada detil-detil penting yang terlewatkan oleh mereka. Penelusuran Mirza atas manuskrip-manuskrip muqaddimah bisa menjadi inspirasi bagaimana sebuah karya dari seorang tokoh mengalami perjalanan yang “melelahkan” melintasi zaman dan teritori hanya untuk menyapa kita, para pembaca modern.
Seperti nampak dalam artikel (hal. 88), semua rasa penasaran Mirza dimulai dari informasi tentang lokasi manuskrip muqaddimah yang ia dapatkan dari katalog manuskrip berjudul al-Fihris Shāmil li al-turāth al-ʿArabī al-Islāmī al-Makhṭūṭ. Meski hanya berupa katalog, kitab ini sudah selayaknya dikaji secara serius, bersandingan dengan kitab-kitab historiografi tafsir lain. Sampai itu dilakukan, kita hanya akan menjadi “konsumen” kitab yang menerima begitu saja apa yang disajikan oleh para penerbit buku. Di titik itu, ketika kita merasa “menemukan” sesuatu yang penting, sebenarnya yang kita temukan adalah “sekedar” apa yang penerbit buku ingin kita temukan.
How to cite this Article: Mu’ammar Zayn Qadafy “Mendaur Ulang “Muqaddimah” Ibn Taymiyyah (1263-1328): Review Artikel Younus Mirza”, studitafsir.com (blog), September 26, 2023 (+ URL dan tanggal akses)
Artikel yang direview bisa didownload di sini.