
Melepas Studi Tafsir dari Bayang-Bayang Studi Qur’an (Part 2): Studi Tafsir Sebagai ‘Titik Temu’ Pendekatan Normatif dan Obyektif
Oleh: Mu’ammar Zayn Qadafy
Judul reviu kali ini memang saya akui, panjang. Baik kalimat induk (sebelum titik dua), maupun kalimat turunannya sama-sama memuat argumen penting yang sulit disederhanakan. Saya melihat bahwa intisari dari artikel Pieter Coppens (Amsterdam), yang berjudul “Tafsir Studies and The Conundrum of Normativity” cukup solid memosisikan Studi Tafsir sebagai jembatan antara normativitas dan obyektifitas dalam kajian Islam, sebuah privillage yang agaknya mustahil dicapai oleh Studi Qur’an.
Sebelumnya, di tulisan mengenai “pelepasan studi Tafsir dan bayang-bayang studi Qur’an (Part 1)“, saya mengulas bagaimana diskusi yang berjalan di antara para punggawa IQSA mengenai posisi Kitab-Kitab Tafsir terhadap al-Qur’an. Meski terdapat perbedaan dalam memahami posisi ini, semua dari mereka sepakat bahwa Obyek material Studi Qur’an adalah al-Qur’an dan hal-hal yang berkaitan dengan dirinya, sementara obyek material Studi Tafsir adalah sejarah penerimaan (reception history) umat Islam terhadap al-Qur’an.
Implikasinya, Studi Qur’an bisa saja diarahkan pada persoalan asal-usul (origins), sebuah isu yang sering memunculkan tensi antara akademisi Muslim dan non-Muslim. Dalam bidang studi Qur’an dan studi Hadis, benturan epistemologi antara iman dan kritik sejarah sudah hampir pasti terjadi. Sebaliknya, sifat dasar Studi tafsir yang adalah kajian atas sejarah intelektual menjadikannya media yang efektif bagi meleburnya sekat-sekat perspektif insider vs outsider, emic vs etic, dan normatif vs obyektif. Coppens percaya, dalam studi tafsir, benturan dua epistemologi ini tidak akan terlampau keras.
Teologi Islam (Islamische Theologie) dan Studi Islam (Islamwissenchaft) di Jerman Saat Ini
Sebagai seseorang yang dibesarkan dalam tradisi keilmuan Islam tradisional yang kuat, Coppens resah karena pola penalaran tentang Islam yang ia dan jutaan sarjana Muslim pelajari selama ini selalu dianggap normatif dan tidak akademik. Di antara sekian banyak yang memunculkan klaim ini adalah Aaron Hughes (New York). Baginya, studi Islam yang dilakukan di beberapa institusi studi keagamaan bersifat apologetik dan teologis. Thesis Hughes ini lantas dikembangkan secara lebih konkrit oleh Daneshgar yang secara eksplisit menyebut kampus-kampus di Malaysia, Indonesia dan Iran sebagai “rumah” bagi kajian Islam apologetik tersebut. (baca reviu kami atas buku Daneshgar di sini).
Pun demikian, keberatan mengenai klasifikasi studi Islam berdasarkan background keimanan peneliti (confessional vs non-confessional) telah banyak dikritik. Pertama karena tidak pernah ada kecenderungan tunggal yang berkembang dalam salah satu dari dua genre di atas. Kedua dan yang paling penting, tidak ada jaminan bahwa studi yang dilakukan oleh kalangan tertentu lebih teliti (rigorous) dan lebih jujur (sincere) dari kelompok lain, sementara ketelitian dan kejujuran adalah dua syarat mutlak studi ilmiah.
Di luar silang pendapat ini, Coppens menggaris-bawahi didirikannya pusat-pusat studi teologi Islam di institusi pendidikan Tinggi milik beberapa pemerintahan Eropa. Meski tidak menyebut secara eksplisit, contoh-contoh Coppens jelas mengarah pada pembentukan Zentrum für Islamische Theologie (ZIT) di beberapa negara bagian di Jerman. Saya sendiri pernah menyampaikan presentasi mengenai dinamika studi Qur’an dan tafsir di pusat studi khas Jerman ini.
Survey saya dan apa yang digaris bawahi Coppens menghasilkan kesimpulan yang sama, yaitu bahwa tidak banyak akademisi Jerman yang memiliki concern dengan kajian tafsir. Di antara beberapa tokoh ZIT yang Coppens sebut, hanya dua nama yang memiliki karya di bidang tersebut, yaitu Kathrin Klausing (Osnabrück) dan Nimet Seker (Frankfurt). Nama yang terakhir ini mempublikasikan kumpulan artikel yang diberi judul Koran und Gender.
Buku inilah yang dijadikan dasar argumen oleh Coppens bahwa studi atas tafsir bisa mempertemukan dua kutub normativitas dan obyektifitas sekaligus. Dalam kajiannya atas kitab-kitab tafsir klasik, pertengahan hingga modern, Seker berhasil mendudukkan kitab-kitab tafsir tersebut sebagai sumber sejarah intelektual sekaligus sebagai sumber pengetahuan. Dengan nada optimis, Coppens merasa dirinya tidak menemukan pertentangan epistemologi (antara Studi Islam dan teologi Islam) ketika membaca karya Seker tersebut. Karya Seeker ini adalah contoh karya yang berbasis pada normativitas yang sadar sejarah dan konteks sosial (historically and sociologically Informed Normativity).
Konsep Tradisi Diskursif Talal Asad (2009) Sebagai Titik Tolak
Bagian selanjutnya dari artikel Coppens ini terbilang ‘mengejutkan’, karena ia memakai teori ‘tradisi diskursif’ Talal Asad untuk menjustifikasi jenis normativitas yang ia usung. Sebagai awalan, Coppens menyertakan kutipan dari Asad mengenai sifat dasar Islam sebagai sebuah diskursus yang berkaitan secara konseptual dengan masa lalu (ketika islam dilembagakan dan ditransmisikan) ke masa depan (dalam jangka pendek atau panjang), melalui masa kini.
Dalam investigasi atas masa lalu, meskipun motivasi antara pendekatan normatif dan non-normatif berbeda, tetapi metode penggalian dan cara pembacaan data dari dua pendekatan tersebut sama. Coppens mencontohkan kajian atas ritual tertentu di periode Mamluk. Pada akhirnya, metode penelusuran sejarah adalah pemain penting dalam penelusuran ini, bukan kerangka berpikir peneliti yang normatif atau non-normatif. Memang benar dalam penelitian sejarah, juga dikenal asumsi dan metode penelusuran data yang berbeda. Tetapi secara umum, cara kerja riset sejarah sama, yaitu penelusuran atas data-data masa silam secara teliti dan jujur.
Contoh lainnya adalah sejarah tentang epistemologi mistis atau okultis (misalnya konsep dhawq, kashf atau laduni). Jikapun seorang peneliti (baik dari kalangan sejarawan Muslim maupun Muslim teologian) memiliki kecenderungan mistis tertentu, ia tidak perlu dan tidak pernah menyampaikan kecenderungannya ini dalam naskah-naskah akademik. Sebaliknya, yang ditampilkan adalah sejarah konsep dan komunitas okultis yang sedang dikaji.
Hal yang sama berlaku terhadap kajian masa kini yang biasanya bertumpu pada etnografi. Coppens meragukan apakah perbedaan titik tolak benar-benar mempengaruhi cara baca peneliti mengenai fakta-fakta di lapangan. Etnografi memiliki standar verifiabilitas dan disprovabilitas data yang sifatnya umum dan tidak terikat pada pendekatan tertentu. Lagi-lagi, Coppens tidak ambil pusing perbedaan-perbedaan madhhab yang tersemai subur dalam disiplin ilmu etnografi. Ia juga acuh terhadap sejarah kelahiran etnografi sendiri, yang merupakan buah karya enlightment Barat untuk digunakan -kadang secara paksa- sebagai kaca mata membaca budaya non-Barat. Yang Coppens maksudkan adalah cara kerja etnografi secara umum yang melihat fenomena aktual sebagai data yang bisa diverifikasi oleh siapapun.
Dalam posisi Islam sebagai tradisi diskursif, jika dalam mengkaji diskursus masa lampu dan masa kini, benturan epistemologis bisa diminimalisir, tidak demikian dengan diskusi tentang masa datang, yang di dalamnya, isu-isu posisionalitas dan interseksionalitas lebih ditonjolkan. Beberapa sarjana, kata Coppens, meyakini bahwa bidang ini adalah domain eksklusif para teolog.
Meski bukan menjadi argumen utama dalam artikel ini, cara Coppens menggunakan teori tradisi diskursif Talal Asad, mengurainya ke dalam tiga gugus argumen kecil dan menjadikannya acuan dalam menganalisa sifat kajian keislaman adalah sesuatu yang -setidaknya bagi saya- fresh dan perlu direnungkan para Asadians.
Normativitas yang Sadar Sejarah dan Konteks Sosial (Historically and Sociologically Informed Normativity)
Istilah ini adalah kata kunci dalam artikel Coppens. Ia menyebutnya sebagai satu-satunya jalan agar sekat pemisah antara Studi Islam dan teologi Islam bisa dirobohkan. Bagaimanapun juga, ketika berakar kuat dalam studi masa lalu dan masa kini, studi teologi normatif juga menghasilkan pengetahuan yang relevan untuk sarjana non-teologi Islam, dan secara metodologis sama-sama bisa diakses dan diverifikasi. Yang jelas, musuh utama dari segala jenis kerja ilmiah atas Islam, tandas Coppens, adalah manipulasi data sejarah.
Meski ‘titik-tolak’ Studi Islam dan Teologi Islam berbeda, keduanya berbagi cara kerja investigasi sejarah yang menjadi nafas ilmiah keduanya. Di titik tertentu, tentu akan terjadi benturan epistemologis, seperti ketika para teolog Muslim mulai berbicara tentang Tuhan dan interaksi-Nya dengan ciptaan-ciptaan-Nya. Tetapi penyelidikan akan tradisi diskursif masa lalu dan masa kini memiliki potensi untuk menjadi percakapan bersama.
Para teolog muslim dan para Islamis (sebutan untuk pelaku Studi Islam), memiliki hak yang sama untuk saling meneliti kesarjanaan satu sama lain dalam hal ketelitian akademis dan konsistensi metodologis, serta saling mengoreksi satu sama lain jika diperlukan. Dalam hal ini, Coppens meyakini bidang kajian tafsir bisa menjadi ruang eksperimen yang baik bagi para Islamis dan teolog Islam untuk saling memahami kesarjanaan satu sama lain. Sangat disayangkan, Coppens tidak membahas lebih detil tentang karya Seker yang ia jadikan basis argumen, selain hanya merujuknya sebagai contoh ideal dari karya seorang teologian yang pola pikirnya normatif tapi ia sadar sejarah.
Juga sayangnya, Coppens tidak melirik karya-karya tentang Qur’an dan Tafsir yang lahir di Indonesia, karena keterbatasan aksesnya tentang sejarah negeri dengan jumlah Umat Islam terbanyak di dunia ini. Saya meyakini jumlah karya di Indonesia yang telah mengadopsi -apa yang Coppens sebut sebagai- normativitas yang sadar sejarah dan konteks sosial, jauh lebih banyak dari yang Coppens temukan di tradisi Pusat Teologi Islam di Jerman.
Di level perumpamaan yang paling sederhana, akan muncul beberapa pertanyaan lanjutan. Misalnya apakah teori Ma’na Cum Maghza Sahiron Syamsuddin telah mengakomodir jenis normativitas yang Coppens maksud? atau apakah dalam gerak ganda almarhum Fazlurrahman, hanya bagian investigasi masa lalu dan elaborasi masa kini yang bisa diterima oleh baik teolog maupun Islamis, sementara bagian proyeksi ke depannya tidak?. Apakah itu berarti bahwa penelusuran masa lalu dan masa kini masuk dalam kerja “memahami” (to understand) sementara perumusan masa depan adalah kerja “meyakinkan” (to convince)?. Di level yang lebih rumit, ada juga pertanyaan apakah teori historically informed normativity Coppens benar-benar bisa menjadi jembatan antara menjadi ‘akademisi Muslim’ dan ‘teolog Muslim’ di saat yang sama, ataukah ia justru akan membuat tensi keduanya semakin nrunyam karena membuat garis demarkasi yang jelas antara apa yang bisa dan tidak bisa keduanya lakukan bersama-sama?.
Susah untuk tidak mengatakan, kalau Coppens tidak sedang mengikuti trend kesarjanaan kontemporer yang terobsesi untuk mencari dan mengakomodir kepastian sejarah (historical certainty), sebuah sikap yang disinis-i oleh Thomas Bauer dalam bukunya A Culture of Ambiguity. Bagaimanapun juga, masa lalu dan masa sekarang berada dalam domain kepastian ini, sementara masa depan tidak. Terlepas dari itu, Artikel Coppens ini meneguhkan kesan kalau studi tafsir sebagai sejarah intelektual (seperti yang selama ini dilakukan olehh studitafsir.com) seharusnya bisa dinikmati dan dirayakan oleh penikmat studi islam dan teologi Islam (juga oleh akademisi dan masyarakat umum).
How to cite this Article: Mu’ammar Zayn Qadafy, “Melepas Studi Tafsir dari Bayang-Bayang Studi Qur’an (Part 2): Studi Tafsir Sebagai ‘Titik Temu’ Pendekatan Normatif dan Obyektif”, studitafsir.com (blog), Juli, 2, 2022 (+ URL dan tanggal akses).
Artikel yang direview bisa didownload di sini.