Terjemah Interlinear al-Qur’an di Melayu-Indonesia: dari JC Lobherz ke RM Feener (Bag. 2)

Terjemah Interlinear al-Qur’an di Melayu-Indonesia: dari JC Lobherz ke RM Feener (Bag.2)

Oleh: Muhammad Dluha Lutfillah

 

Kontribusi Wilson ini sejak dalam judul telah menyebutkan penekanan pada bahasa- bahasa “Islamicate”.  Agaknya untuk memberi permakluman pada judul tersebut, Wilson mengatakan “Muslim activity in the field was negligible” di awal pernyataannya (Wilson 2020,552). Jika kita pertimbankgan perhatian yang telah diberikan oleh sejumlah pendahulunya, bahkan sejak Zwemer, pernyataan ini menjadi agak lemah. Namun, kelemahan ini terobati dengan berbagai insight baru yang Wilson sadarkan dalam bagian-bagian selanjutnya. Yang pertama adalah hasil pengamatan cermat dan besar, bahwa kajian terhadap terjemahan al- Qur’an mulai tumbuh pada abad ke-18 (sebagaimana telah saya singgung dalam awal bagian ini) dan berkembang pada abad ke-19 dan ke-20. (Wilson 2020, 553)

Hal baru lain yang juga menarik adalah cara pembabakan tulisannya yang agaknya merupakan perkawinan antara bentuk terjemahan dominan dan periodesasi. Ia memulai dengan bagian interlinear works, lalu commentary-translations, dan mengakhiri tulisan dengan modern translations. Untuk artikel ini, bagian paling menarik adalah bagian pertama (Wilson2020, 555–57). Di sana ia membahas beberapa bentuk terjemahan antarbaris: berbahasa tunggal atau multi (tidak jarang lebih dari dua), penerjemahan sederhana kata-per-kata, cohesive translation, bahkan pemberian stylistic flourishes (bumbu-bumbu sastrawi).

Wilson kemudian memberi ulasan historis tentang terjemahan antarbaris dan penjelasan genealogis “mana- memperanakkan-mana”—aspek terakhir ini sebelumnya hanya dinikmati oleh terjemahan- terjemahan ke dalam bahasa Eropa. Wilson juga menyebut tentang dampak kemunculan teknologi cetak pada terjemah antarbaris; beberapa berhasil mempertahankan hidup, namun beberapa lainnya “relegated to artefact status (beralih status menjadi artefak)” karena masyarakat cetak lebih menyukai “paraphrastic commentaries and modern translations” (Wilson 2020, 556). Kalimat singkat yang mempertautkan perkembangan teknologi, pergeseran mentalitas yang ditimbulkan, dan dampak lebih jauhnya pada arah produksi literatur, adalah insight menarik dari Wilson.

Kontribusi menarik lainnya dari Wilson adalah catatannya tentang lima faktor yang berperan dalam evolusi modern translation sebagai sebuah genre: a) kemunculan dan menjamurnya teknologi cetak, b) banyaknya terjemahan oleh Orientalis dan misionaris Kristen yang, selain memberi gambaran model terjemahan yang lebih in tune dengan konsepsi kultural modern tentang buku, juga memantik keinginan orang Islam untuk memproduksi terjemahan, c) meningginya semangat nasionalisme, d) kemunculan para reformis, lebih tepatnya para intelektual non-ulama, yang menyuarakan slogan kembali pada Quran dan Sunnah, dan e) semakin banyaknya institusi Islam yang memproduksi dan mendistribusikan terjemahan al- Qur’an. Catatannya yang tak kalah penting adalah tentang paralelisasi semangat nasionalisme (yang menguat pasca-perang, 1919-39) dan perkembangan terjemahan al-Qur’an ke dalam banyak bahasa, termasuk dalam bahasa-bahasa Asia Selatan, Tenggara, dan Timur.

Seperti dalam bukunya (Wilson 2014), Wilson mendambakan lebih banyak muncul kajian terhadap terjemahan yang goes beyond word choices and stylistic decisions dan masuk ke dalam diskusi tentang sejarah politik dan intelektual yang membersamai isu terjemah, atau, jika memungkinkan, masuk lebih jauh pada apa yang ia sebut sebagai the social import of Quran translations. Semua ini, catat Wilson, pasti berbeda di tiap periode dan wilayah (Wilson2014, 6) dan, dengan demikian, menjadi sangat menarik dan kaya. Harapan ini menjadi lebih konkret dan mendapatkan warna yang lebih menantang dalam kontribusi J Pink. (Pink 2021)

Seperti Wilson, Pink tidak lagi mengulang narasi kemunculan terjemahan dalam bahasa dan periode tertentu dengan banyak detail. Perhatiannya lebih banyak diberikan pada aspek- aspek yang mengiringi kemunculan terjemahan-terjemahan itu. Dengan itu, periodesasi hanya ia bagi dalam tiga babak yang disertai dengan elemen penentu arah periode yang menurut Pink penting untuk disadari dan diperhatikan.

Pink menyebut Translation and Exegesis in the Premodern Islamic Tradition, Print Culture and Modern Statehood, dan Politics and Polemics: Twentieth-century Debates. Dalam masa premodern, isu terbesar adalah kesulitan memisahkan terjemahan dan tafsir; dalam masa modern, teknologi penting dan pergeseran kebudayaan (serta mentalitas!) juga tumbuhnya sistem negara memberikan dampak terbesar, dan; dalam abad ke-20, pengaruh terbesar datang dari wilayah politik.

Mengikuti tiga babak berdasarkan periode dan isu, tiga babak selanjutnya difokuskan pada sisi-sisi yang penting dibahas ketika melakukan kajian terhadap sebuah terjemahan: Translator’s Choices, Types, Purposes, and Target Languages of Translations, dan the Translator’s Lens and the Question of Origins. Yang pertama kurang lebih adalah sisi yang kita kenal sebagai sisi hermeneutis.

Dalam bagian ini, secara lantang Pink meneriaki sarjana- sarjana Barat dalam kajian terjemahan yang memunculkan konsepsi terjemah setia (faithful translation). Pink berargumen di sini bahwa tidak ada satu terjemahan, bahkan terjemahan antarbaris yang biasanya menerjemahkan kata-per-kata, pun yang bisa disebut setia. Penerjemah selalu memiliki pilihan dan akhirnya memilih satu untuk ia tampilkan dalam karyanya.

Dalam babak selanjutnya, Pink mengatakan bahwa kategorisasi yang selama ini digunakan (yaitu berdasarkan bahasa, wilayah, dan agama penerjemah) sering mengalami tumpang-tindih dan membuat analisis sulit dilakukan, apalagi ketika terjemahan ke dalam bahasa Inggris telah menjadi basis untuk banyak terjemahan ke dalam bahasa-bahasa lokal- vernakular yang digunakan oleh umat Islam.

Pink kemudian menawarkan untuk keluar dari kategorisasi ini dan menggunakan kategorisasi baru yang mempertimbangkan tujuan dan audiens sasaran sebagai ketika mengkaji tipe terjemahan. Dengan cara pandang ini, Pink mengembangkan empat kategori: a) translations with educational purposes, b) translations rooted in interreligious polemics, c) scholarly translations, dan d) informative (?) translations. Sementara kategori keempat memunculkan subkategori berupa terjemahan-terjemahan sastrawi, kategori ketiga melahirkan bentuk-bentuk yang Pink bahas dalam babak terakhir kontribusinya.

Dalam babak terakhir itu, Pink mengulas bentuk-bentuk terjemahan karya para sarjana mutakhir yang seringnya begitu erat berkaitan dengan pandangan mereka tentang asal- usul dan/atau cara mengenali identitas paling asli dari al-Qur’an. Semua teriakan ini— pembahasan periode bersamaan dengan isu, aspek-aspek baru untuk diperhatikan, dan kategorisasi alternatif demi keberlanjutan wacana akademik—berasal dari laporan-laporan terbaru Pink (Pink 2017, 2019) dan uji penerapan yang terlihat dalam salah satu tulisan barunya. (Pink 2020)

Namun, dari sekian terobosan yang Pink berikan, ada satu poin yang cukup mengganggu saya—hasil, bukan basis, kategorisasi yang Pink tawarkan juga menyisakan beberapa ganjalan, namun menjadi pembahasan di tulisan saya selanjutnya. Tepat dua kalimat sebelum masuk pada babak modern dan teknologi cetak, Pink mengatakan:

The only meaningful way to distinguish such activities from what modern readers would recognize as a “translation” is to define “translation” not as an activity but as a literary genre characterized by the attempt to produce a stand-alone text that can be read without any reference to or knowledge of the original.” (Pink 2021, 366)

Definisi yang Pink tawarkan ini, terutama syarat agar terjemah harus bisa terbaca sendiri tanpa harus bergantung pada teks asli, berisiko mengeluarkan terjemahan antarbaris bahkan dari kategori terjemahan. Selama ini, setidaknya dalam artikelnya yang lain, (Pink 2020) Pink menggunakan definisi ini untuk terjemah yang ia sebut sebagai narrative translation (terjemahan naratif) (Pink 2020, 346) atau yang saya sebut, dengan mempertimbangkan cara Wilson menyifati (Wilson 2014, 2020) juga menyebutnya (Wilson 2014, 556), dengan terjemahan parafrastik.

Dalam banyak literatur, jenis terjemahan ini juga disebut dengan terjemahan modern. Menurut saya, pembagian ini berikut perhatian pada ciri masing-masing terjemahan—stand-alone dalam terjemah parafrastik dan originaldependent pada antarbaris—telah membantu pengembangan argumen-argumen yang cukup penting. Mempertimbangkan semua ini, saya memberanikan diri untuk berseberangan dengan Pink dan tetap menisbatkan definisi ini hanya pada terjemah naratif.

Walaupun berbeda dalam titik ini, saya berada dalam tim Pink dalam usaha melawan dominasi konsepsi tentang terjemahan yang Europe-centered dan memperhatikan tujuan penulisan dan audiens sasaran. Namun, saya lebih pada tim Wilson (dengan demikian juga tim Zadeh) untuk aspek lain: memperhatikan lebih jauh terjemah antarbaris dan membangun narasi genealogis (atau konektivitas dalam istilah Spira) antar terjemahan-terjemahan dalam bahasa- bahasa Islamicate.

Usaha Spira untuk menemukan tradisi tafsir dalam konteks Cina akan saya bawa ke dalam konteks Jawa yang berada dalam Indo-Malay world. Saya tentu tidak melupakan dua pertanyaan yang belum terjawab sebelumnya: Apakah terjemahan-terjemahan ke dalam bahasa non-Eropa memang terlepas satu dari lainnya? Jika masih ada beberapa terjemahan yang mempertahankan bentuk antarbaris, untuk alasan apa mereka mempertahankan itu?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya untungnya tidak berangkat dari nihil, namun melanjutkan temuan Nurtawab, yang saya sebut di awal, dan dengan demikian juga temuan PG Riddell. Walaupun tidak langsung menjawab kedua pertanyaan tersebut, setidaknya keduanya, tentu bersama para sarjana lainnya, telah menyediakan potongan- potongan puzzle sehingga tugas yang tersisa untuk saya hanya merangkai mereka atau menemukan hanya satu-dua tambahan untuk melengkapinya.

Agar bisa merangkainya dengan baik, saya perlu melihat bidang dan gambaran puzzle dengan lebih jelas, sehingga kacamata yang saya gunakan harus tepat. Untuk artikel ini, kacamata yang saya gunakan dinamai sebagai mikrokosmos tekstual (textual microcosms). Dengan kacamata ini, sebagaimana saya sebutkan sebelumnya, terjemahan antarbaris akan saya lihat sebagai semesta kecil tempat saya mengintip kejadian-kejadian masa lalu. Namun, saya bukanlah yang pertama menggunakan kacamata ini. Beberapa senior telah lebih dulu menggunakannya. Berikut kisah mereka.

Jenggotan sebagai Mikrokosmos

Mikrokosmos tekstual sebenarnya belum menjadi sebuah konsep yang matang. Belum ada definisi yang mapan untuk istilah ini. Berbagai pertanyaan teoretis juga tertuju pada konsep ini dan belum semua mendapatkan jawaban memuaskan. Namun demikian, gambaran kasar tentangnya telah ada bahkan dipraktikkan oleh para sarjana, termasuk sarjana studi al-Qur’an dan/atau tafsir. Seperti telah saya sebutkan sebelumnya, dalam kacamata ini teks difungsikan sebagai jendela untuk melihat kisah-kisah masa lalu—dengan demikian diberi fungsi historis. Dengan “teks”, yang saya maksudkan adalah semua level komponen penyusunnya dari yang terkecil: huruf, kata, frasa, kalimat, paragraf, wacana. Dengan tidak memberinya pembatasan apapun, saya juga ingin mengatakan bahwa pada dasarnya semua teks bisa membawa fungsi ini.

Seluruh teks-teks Islami, baik al-Qur’an, hadis, riwayat dalam kategori lain, bisa didekati dengan kacamata ini. Kajian S Ahmed terhadap riwayat-riwayat tentang āyāt gharāniq (satanic verses) (Ahmed 2017) berhasil menunjukkan pergeseran sikap Muslim terhadap ungkapan yang diyakini dibisikkan oleh setan kepada Nabi. Lebih jauh, Ahmed juga bisa berkontribusi pada diskusi tentang terbentuknya ortodoksi Islam, terutama dalam periode apa ia mulai terbentuk. Kajian MD Luthfillah (Luthfillah 2019) tentang hadis-hadis yang mengutuk transgenderisme juga memperlakukan teks dengan cara yang serupa.

Dengan cara tersebut, Luthfillah berhasil membidik satu periode terbentuknya sikap terhadap transgenderisme dan pergeseran gradual sikap ini dari pandangan pribadi menjadi pandangan resmi agama. N Boekhoff-van Der Voort (Boekhoff-van Der Voort 2010) juga menggunakan cara pandang yang kurang lebih serupa untuk melihat perkembangan teks dari kategori maghāzī. Serupa dengan Ahmed dan Luthfillah, Boekhoff van Der Voort melihat secara dekat perkembangan teks untuk merekonstruksi sejarah pembakuan sebuah pandangan menjadi bagian dari kanon untuk kemudian dijejalkan pada masyarakat.

Teks al-Qur’an juga bisa digunakan sebagai data sejarah. A Neuwirth adalah salah satu sarjana yang paling getol melihat fungsi ini dari al-Qur’an. Lebih tepatnya secara ia resiprokal menjadikannya jendela untuk membaca kejadian-kejadian di Jazirah Arab pada masa Kuno Akhir (Late Antiquity) dan menjadikan data-data sejarah tentang zaman tersebut untuk memahami al-Qur’an sebagai pribadinya yang lebih orisinal. (Neuwirth 2000a, 2000b, 2009,2013, 2014, 2017, 2019)

Kajian aspek-aspek superfisial dari mushaf al-Qur’an bahkan meneliti aspek yang lebih subtil: ortografi, simbol (seperti waqf/berhenti dan simbol pembagian semacam rubu’, ṡumun, dan semacamnya), tanda (penanda akhir ayat, misalnya), bahkan iluminasi pun menceritakan sebuah kisah. Riset-riset AH Syukrie (Syukrie 2021), AT Gallop, (Annabel Teh Gallop 2011) dan A Akbar (Annabel Teh Gallop dan Ali Akbar 2006) membangun argumen-argumen mereka dari aspek-aspek kecil seperti ini dan membuktikan bahwa bentuk hiasan pun menyimpan kisah pertarungan politik di dalam diri mereka. Walhasil, semua elemen teks bisa menjadi mikrokosmos dari semesta lebih besar yang melingkupi kelahiran mereka.

Tidak hanya teks, terjemah dari sebuah teks juga berkemungkinan menjadi mikrokosmos dalam level apapun, baik kata, kalimat, atau keutuhan teks. (Ricci 2014, 544–45) Dalam satu dari sekian banyak argumen pentingnya, R Ricci (Ricci 2011) membuktikan bahwa dalam levelnya yang paling luas, terjemahan Jawa atas Kitab Seribu Masalah bisa memberi tahu kita tentang kisah dinamika keislaman masyarakat Jawa dari abad ke-18 (atau bahkan satu abad sebelumnya) hingga abad ke-20. Argumen ini ia dasarkan utamanya pada analisisnya tentang perubahan penggambaran tokoh Nabi Muhammad saw. dan ‘Abdullāh b. Salām dalam beberapa manuskrip.

Masih dalam riset yang sama, Ricci juga mengidentifikasi perbedaan tingkat meresapnya bahasa Arab ke dalam komunitas Muslim berbahasa Melayu, berbahasa Jawa, dan berbahasa Tamil, dan lebih jauh tingkat familiaritas komunitas-komunitas tersebut dengan literatur keagamaan Islam. Jika poin sebelumnya didasarkan pada level terluas, poin ini didasarkan pada kajian terjemahan dalam level kata, tepatnya melalui Arabisasi kosa kata lokal dan vernakularisasi kosa kata Arab.

Baru-baru ini, Ricci bahkan membawa ini pada level yang lebih subtil, yaitu kata sandang. (Ricci 2022) Saya bisa katakan bahwa dengan ini Ricci telah membawa ke level lebih ekstrem argumen yang selama ini telah ia bangun: bahwa terjemahan, utamanya terjemahan antarbaris, adalah semesta kecil tempat bersarang bermacam niat, prioritas, pilihan, perdebatan, serta pertukaran makna, gramatika, dan sintaktika bahasa.

Sampai penjelasan ini, saya ingin tunjukkan dugaan sementara saya bahwa penciri utama mikrokosme tekstual agaknya adalah perhatian pada semua detail yang ada, bahkan yang terkecil sekalipun, juga kecurigaan atas diterimanya begitu saja (taken for granted) pemahaman-pemahaman yang ada atas semua detail tersebut.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah kacamata ini secara eksklusif hanya dimiliki oleh jenis terjemahan antarbaris? Sampai penulisan artikel ini, saya cenderung mengatakan tidak. Kemungkinan menyimpan cerita dan mendobrak asumsi-asumsi yang diterima begitu saja (taken for granted) juga dimiliki oleh detail-detail dari jenis terjemahan lain. Namun, saya juga setuju dengan dugaan bahwa terjemahan antarbaris adalah salah satu bentuk terjemahan yang kepadanya berbagai asumsi dilekatkan begitu saja. Padahal, asumsi-asumsi tersebut jika ditilik lebih serius akan memperlihatkan lubang di sana-sini.

Sebelum lebih jauh, saya juga ingin menyampaikan dugaan lain bahwa untuk menemukan sisi pendobrak asumsi semacam itu, subjek kajian tidak harus selesai terkuliti. Upaya untuk mengulas hal-hal terperinci dari sebuah teks sambil selalu mengantisipasi munculnya aspek yang bisa merevisi argumen-argumen kesarjanaan yang telah ada, bisa dilakukan bahkan terhadap teks yang belum terkaji dengan baik dan selayaknya (understudied).

Namun harus diakui, pilihan ini tidak banyak diambil para sarjana. Yang lebih umum dilakukan terhadap naskah-naskah yang baru ditemukan atau dikaji adalah menguliti habis aspek-aspek dasarnya. Kajian R Tottoli (Tottoli 2015, 2018) dan RF Glei (Glei 2018) adalah contohnya. Mereka memang berhasil menggegerkan jagat kesarjanaan terjemahan al-Qur’an dengan menemukan terjemahan al-Qur’an oleh Zechendorff ke dalam bahasa Latin dalam bentuk antarbaris.

Tetapi harus diakui, kajian mereka masih menyasar aspek-aspek dasar: ketepatan— juga beberapa poin lain—penulisan teks asli (teks Arab al-Qur’an) dan keakuratan penerjemahan, secara berurutan. Dalam sebuah kelas, misalnya, saya menyaksikan kekecewaan para pegiat studi terjemahan ketika membaca laporan Glei. Alih-alih memenuhi halaman-halaman itu dengan perincian yang melelahkan, Glei bisa saja hanya menampilkan satu-dua contoh lalu menggunakannya untuk ikut nimbrung dalam diskusi yang lebih luas.

Pola singkat-padat-menohok yang tidak dipilih Glei ini ternyata menjadi pilihan Pink ketika mengkaji al-Ibrīz dan al-Iklīl. Hanya melalui analisis beberapa ayat, Pink berhasil mematahkan asumsi bahwa terjemahan antarbaris adalah terjemahan yang berwatak setia (faithful) terhadap teks asli, literal, dan tidak mengeluarkan suara penerjemah. (Pink 2020,339–47) Ia berhasil menunjukkan dengan jelas bahwa dalam terjemahan level kata ini, seseorang bisa mendengarkan suara penerjemah terutama dalam memilih bagian gramatika dan sintaksis mana yang harus ditekankan atau dihilangkan sama sekali.

Terjemahan antarbaris,dengan demikian, memang sudah mapan dan mengalami standarisasi, namun menyisakan ruang fleksibilitas bagi penerjemah untuk memilih. (Pink 2020, 342) Ini mengingatkan kita pada poin Pink tentang tidak adanya terjemahan literal karena penerjemah selalu dihadapkan pada pilihan. (Pink 2021, 370–71)

Walaupun demikian, Pink agaknya masih terjebak untuk mengamini asumsi lain yang oleh banyak orang diterima begitu saja. Ini terlihat ketika Pink mengatakan bahwa terjemahan antarbaris muncul dalam konteks pedagogis kemudian mengembalikan semua gejala yang dia temui pada konteks tersebut. Dalam hal ini, Pink agaknya mengikuti pandangan senada yang dilontarkan oleh banyak sarjana Indonesia seperti I Gusmian. (Gusmian 2012) Argumen ini memang sampai taraf tertentu benar, namun tidak mampu menjelaskan semua gejala yang ada dalam terjemahan antarbaris Jawa. Salah satunya terlihat dalam upaya Pink merasionalisasikan pandangan tadi melalui analisis terhadap bahasa simbolik sapa dan apa.

The structure of the grammatical explanations reflects the oral nature of the lessons, with question words such as “who?” and “what?” marking subjects and objects; it probably emerged from a Q&A style that became formalized over time.” (Pink 2020, 342)

Dugaan tersebut mungkin masuk akal untuk dua bahasa simbolik ini, namun sulit untuk diaplikasikan pada bahasa simbolik lainnya, terutama yang selalu dibaca sebelum kata dari bahasa asli, apalagi yang tidak fungsional dalam bahasa keseharian—seperti utawi, bayane, derapun, dan semacamnya.

Kegagalan lain akan terlihat ketika Pink berusaha menjelaskan dominasi register rendah, ngoko, dalam terjemahan antarbaris. Register ini digunakan ketika lawan bicara memiliki status sosial setara atau lebih rendah. Melanggar aturan itu (misalnya dengan menggunakannya untuk lawan bicara dengan status sosial lebih tinggi) adalah pelanggaran terhadap prinsip kesopanan Jawa.

Seperti Gusmian, (Gusmian 2012, 62) Pink mengatakan bahwa register ini mendominasi terjemahan antarbaris karena skenario kemunculan jenis terjemahan ini adalah kiai membacakan materi ajar pada santri. Sekilas, argumen ini tampak bisa diterima dan sesuai dengan kisah kemunculan subjek riset mereka (al-Ibrīz dan al-Iklīl, subjek riset Pink lahir di pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur; mushaf yang dikaji Gusmian digunakan di madrasah milik Kasunanan Surakarta).

Namun, mereka—terutama Pink, akan kesulitan ketika membaca dua pernyataan berikut: “… dipun terjamah mawi tembung Jawi krama, ingkang supados para murid-murid madrasah saged angginaaken (… diterjemah dengan bahasa Jawa krama, yang agar para murid-murid madrasah bisa gunakan)” (Musthofa t.t., 2) dan

… kawula wangun miturut wangunipun kitab2 madrasah nanging radi mambet-mambet kampungan … supados kejawi terjamah punika saged kaginaaken wonten ing madrasah ugi saged kaginaaken kangge pengahosan ing kampung2 (… saya [ukur] kepantasan seturut [ukuran] kepantasan kitab-kitab madrasah namun agak berbau kampungan … agar selain terjemah itu bisa digunakan di madrasah juga bisa digunakan untuk pengajian di kampung-kampung).” (Musthofa 1957, 2)

Dua kutipan ini secara berurutan berasal dari al-Unsyūṭī Tarjamat Naẓm al-‘Umrīṭī dan Rawīḥat al-Aqwām kangge ngertosi isi Naẓm ‘Aqīdat al-‘Awām—keduanya karya Kiai Bisri Musthofa. Dari dua kutipan tersebut, kita bisa paham bahwa Kiai Bisri ingin menerjemahkan dua kitab karangan ulama Timur Tengah itu ke dalam bahasa Jawa dengan register tinggi, krama.

Ketika kita lihat isi kitab tersebut, terdapat dua macam terjemahan yang Kiai Bisri sajikan: antarbaris dan parafrastik. Menariknya, terjemahan parafrastik disampaikan dalamregister tinggi sedangkan antarbaris tetap dalam register rendah. Mengapa? Dugaan Pink mungkin masih relevan dalam kasus al-Unsyūṭī yang menyasar murid-murid “madrasah”; namun bagaimana dengan Rawīḥat? Bukankah kitab terakhir ini juga menyasar peserta “pengajian di kampung-kampung” yang biasanya juga diikuti oleh orang dewasa? Jika kita lihat rekaman-rekaman “pengajian” yang Kiai Bisri berikan, beliau menggunakan register tinggi sepanjang orasi. “Pengajian” yang dilakukan oleh putra beliau, Kiai Ahmad Mustofa Bisri, pun menggunakan register yang sama. Lantas mengapa terjemahan antarbaris dalam dua kitab tersebut menggunakan register rendah untuk audiens yang dalam konteks lain diberi register tinggi? Penjelasan Pink agaknya kurang memuaskan pertanyaan ini.

Dengan mengatakan ini, saya ingin menunjukkan tingkat kesulitan pendobrakan yang ditawarkan oleh mikrokosmos tekstual, terlebih karena tuntutan penguasaan detail-detail yang melelahkan.  Namun, justru  kesulitan inilah yang  menjadi  kenikmatan  bagi  para sarjana. Keberatan yang dimunculkan oleh seorang sarjana karena pengetahuannya tentang perincian yang tidak diketahui rekan sarjananya, membuat diskusi hidup dan mengasyikkan.

Setelah sebelumnya diramaikan oleh kajian para sarjana yang menyasar berbagai level terjemahan, kacamata yang memperhatikan perincian super subtil ini akan membuat diskusi tentang terjemahan al-Qur’an di Indonesia semakin ramai. Kajian M Ikhwan (Ikhwan 2015) yang menyasar level lebih abstrak—hampir sama dengan kajian Ricci yang saya sebutkan pertama, kajian N Ichwan (Ichwan 2009) dan F Lukman (Lukman 2019, 2022) yang menyasar level kalimat dan kata, dan kajian Nurtawab (Nurtawab 2020) yang menyasar level yang lebih subtil lagi, akan menarik untuk ditinjau kembali dengan kacamata ini.

 

How to cite this Article: Muhammad Dluha Lutfillah, “Terjemah Interlinear al-Qur’an di Melayu-Indonesia: dari JC Lobherz ke RM Feener (Bag. 2)”, studitafsir.com (blog), May 25, 2023 (+ URL dan tanggal akses).

Share It :
Studi Tafsir
Studi Tafsir
Articles: 80

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Unknown