
Membela Orientalisme (Percakapan Daneshgar dan Empat Reviewer Karyanya)
Oleh: Mu’ammar Zayn Qadafy
Daneshgar tidak sedang main-main ketika melempar klaim bahwa kajian Keislaman di akademi Muslim cenderung sektarian, apologetik, teologis, dogmatik, defensif, deskriptif, anti-kritik, irshādik dan normatif (baca review atas bukunya berjudul Studying the Qur’an in Muslim Academy di sini). Ia nampaknya cukup percaya diri untuk melakukan penghakiman terhadap corak studi Islam di dunia Islam berdasarkan pengalamannya bergelut dengan kajian tersebut di Iran, Malaysia dan Selandia Baru. Ia, dibantu oleh penerbit Brill, lantas mengundang empat sarjana muda untuk membaca monograf yang ia tulis dan merespon isu-isu kontroversial yang ia usung.
Menjelang ditutupnya Call for Papers untuk Intenational Conference tentang “Studi Islam pada PTAI di Indonesia” di Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, saya akan merangkum percakapan Daneshgar dengan keempat reviewer-nya, lalu menghadirkan catatan-catatan sederhana untuk memantik pengembangan riset serupa di tanah air.
“Pukulan Telak” Lien Fina (Yogyakarta, Chicago)
Selain karena alasan nasionalisme (bahwa saya dan Lien sama-sama berasal dari Indonesia dan, secara khusus, UIN Sunan Kalijaga), saya merasa harus mengulas review Lien terlebih dahulu karena ia paling keras mengkritik asumsi-asumsi dan kesimpulan-kesimpulan Daneshgar, dibanding tiga review lain.
Pertama, Lien menyoal institusi apa saja yang masuk dalam kategori “the Muslim Academy” yang dimaksud Daneshgar. Menurut Lien, “akademi Muslim” adalah sebuah term yang kompleks karena terikat dengan individu, instansi, lokalitas dan temporalitas yang plural, yang tidak mungkin disasar secara keseluruhan sekaligus. Lien menyebut Daneshgar telah membuat “over-generalization” karena terburu-buru menyimpulkan bahwa pola studi Islam di semua akademi Muslim sama dengan apa yang ia saksikan di Iran, Malaysia dan Selandia Baru. Rumor menyebut bahwa kelas yang ia ajar di Universitas Makaya pernah “digerudug” kelompok islamis tertentu yang tidak menyukai model dan konten pengajaran orang shīʿah sepertinya.
Dalam konteks ini, Lien menggugat Daneshgar atas kealpaannya menengok literatur-literatur karya sarjana Indonesia yang menurut Lien sangat analitis dan kritis, dan telah mencerminkan wajah studi Islam yang akademik, seperti karya Ismail (terbit tahun 2003), Aksin Wijaya (2004), Sahiron Syamsuddin (2009), Abdul Jalil (2011), Fadhli Lukman (2018), hingga Alimatul Kitptiyah (2020).
Studi Islam di Malaysia dan Indonesia sangatlah berbeda, dan Daneshgar gagal memahami perbedaan itu, hanya karena dia merasa cukup lama tinggal di Kuala Lumpur ketika menempuh pendidikan doktoralnya. Dalam hal penerjemahan karya-karya orientalis misalnya, Daneshgar menemukan bahwa pemerintah Malaysia memberlakukan kontrol yang ketat atas apa yang boleh dan tidak boleh diterjemahkan dan diterbitkan. Kemudian, seketika Daneshgar mendapati “gairah” penerjemahan teks-teks Barat ini juga melemah di Indonesia pada beberapa dekade belakangan, ia lantas berkesimpulan bahwa kontrol yang sama ketatnya juga diberlakukan oleh pemerintah Indonesia.
Ini, menurut Lien, adalah kesimpulan yang “jauh panggang dari api”, karena melemahnya giat penerjemahan teks Barat di Indonesia sama sekali tidak berkaitan dengan kontrol siapapun, melainkan murni karena berkurangnya sumber daya penerjemahan dan beralihnya selera “pembaca” di Indonesia ke karya-karya ringan yang tidak perlu memeras otak. Saya pikir argumentasi Lien masih perlu lebih jauh diverifikasi karena dia juga tidak mendasarinya lewat sebuah kajian yang proper atas trend publikasi karya terjemahan buku di Indonesia.
Pun demikian, para pemerhati studi Islam di Indonesia dan di Malaysia secara bisa memaklumi arah argumen Lien. Beberapa kampus di dua negara tersebut mungkin bisa diperbandingkan kajiannya. Misalnya, ada anggapan bahwa UIN Sunan Kalijaga dan Universitas Malaya berjalan dalam koridor keilmuan yang identik, sementara kampus-kampus lain belum. Lagi-lagi, sampai penelitian komparatif yang sistematik dilakukan, kita hanya akan menduga-duga dalam hal apa studi Islam di dua negara ini saling beririsan.
Sebagai penguat gugatannya atas ketergesa-gesaan Daneshgar menyamakan kajian keislaman di Malaysia dan Indonesia, Lien kemudian menggaris bawahi bagaimana ia sendiri telah mengajar mata kuliah “kajian orientalisme” atau “studi al-Qur’an di Barat” selama lima tahun sebelum hengkang ke Chicago. Dalam desain silabinya, Lien mengaku telah cukup kritis dan akademis dalam menempatkan setiap karya orientalis yang ia diskusikan bersama para mahasiswa. Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit, bagi saya Lien seakan meragukan apakah silabi dan metode mengajar yang sama juga diterapkan oleh siapapun dosen di kampus manapun di Malaysia.
Untuk semakin memperkompleks persoalan, Lien lantas mengetengahkan kekhasan pola studi Islam di PTKI di Indonesia dalam hal bagaimana para praktisinya mengawinkan dua pendekatan sekaligus (teologis-konstruktif dengan non-konfessional) (makna istilah berikut bisa diperdalam dalam review ini) dan mencoba membuat sintesa antara kurikulum akademi Islam tradisional ala al-Azhar dengan kurikulum sekuler di kampus-kampus Eropa dan Amerika. Lien menggarisbawahi pembaharuan pendidikan Islam tingkat tinggi yang terus mencari bentuknya lewat pikiran-pikiran kritis orang-orang seperti Mukti Ali (w. 2004), Harun Nasution (w. 1998), hingga Amin Abdullah.
Terakhir, Lien mengangkat asumsi sentral yang didiskusikan Daneshgar di sepanjang bukunya: apakah akademi Muslim betul-betul tidak kritis. Jawaban atas pertanyaan ini bisa jadi beragam, tergantung bagaimana seseorang mendefinisikan sifat “kritis” itu sendiri. Jika yang dijadikan parameter untuk menyebut sebuah kesarjanaan kritis atau tidak kritis adalah epistemologi sejarah yang sekuler, maka perlu cara pandang khusus untuk membaca cara seorang akademisi muslim mengkaji al-Qur’an.
Pemahaman baru tentang al-Qur’an, bahwa ia adalah Firman Tuhan secara ontologis dan di saat yang sama perkataan Muhammad secara historis patut diapresiasi karena memungkinkan terbukanya pintu untuk berinteraksi dengan kajian sejarah kritis atas al-Qur’an tanpa perlu meninggalkan dogma tentang sakralitas al-Qur’an sebagai kitab suci. Model-model seperti ini perlu dipahami keberadaannya oleh para pengkaji pemikiran Muslim, termasuk Daneshgar. Singkatnya, tidaklah tepat epistemologi sekuler (seringkali berbentuk kajian sejarah kritis) dijadikan satu-satunya standar untuk menyebut apakah sebuah karya tentang al-Qur’an bisa disebut akademik atau apologetik.
Studi Islam di akademi Muslim lahir dalam konteks sejarah yang berbeda dengan hal serupa di Barat. Adalah keharusan bagi peneliti, menurut Lien, untuk membiarkan masing-masing akademi memformulasikan Studi Islam ala mereka, tanpa perlu melabeli salah satunya sebagai akademik, dan yang lain apologetik.
Mohsen Feyzbakhsh (Tehran), Penerus Legasi Daneshgar di Iran
Sangat kontras dengan Lien, Feyzbakhsk memilih untuk menjadi pemuja rahasia buku Daneshgar dan menganggapnya sangat tepat memotret kondisi studi Islam di akademi Muslim saat ini dan sangat relavan untuk pengembangan studi Islam di Iran, negaranya dan negara Daneshgar.
Feyzbakhsk mengamini penentangan kata “apologetik” dengan “kritis” yang menghiasi buku Daneshgar, yang berada dalam dua medan makna sekaligus: metodologi dan output. Feyzbakhsh menyarankan agar buku Daneshgar dibaca dalam kerangka apologetika dan kritisme metodologi. Ia merasa Daneshgar telah dengan tepat menunjukkan bahwa “apologetika Islam memungkinkan seorang sarjana menyensor sebuah teks, salah mengartikannya, dan selektif dalam memilih berbagai jenis sumber”.
Keresahan Daneshgar tentang Studi Islam di Iran yang tidak berkembang sesuai yang ia harapkan juga dirasakan oleh Feyzbakhsk. Secara umum, ia merasakan tidak adanya perhatian yang serius di Iran terhadap cara kesarjanaan Barat bekerja. Hanya saja, sebagaimana argumen Lien, Feyzbakhsk tidak mengkambing-hitamkan sentimen negatif atas Barat sebagai sebab utama dari kemerosotan ini. Alih-alih, Feyzbakhsk menganasir beberapa faktor lain yang menurutnya juga menentukan kualitas dialog antara para akademisi di Iran dengan kesarjanaan Barat, meliputi keterbatasan penguasaan Bahasa Inggris, Jerman dan Perancis. Feyzbakhsk juga melihat dukungan pemerintah Iran terhadap kajian ilmu-ilmu alam dan medis membuat kajian-kajian sosial dan humanities, yang studi al-Qur’an termasuk di dalamnya, melempem. Bagaimanapun, dua hal ini menurut saya juga valid untuk menggambarkan tantangan studi Islam di Indonesia saat ini.
Sembari mengamini skeptisisme Daneshgar tentang ‘suram’nya masa depan Studi Islam di akademi Muslim, Feyzbakhsk mencoba optimis dengan mengetengahkan dua hal: bahwa jurusan-jurusan Studi Islam di Iran mulai menjamur, dan penerjemahan beberapa buku penting dalam studi orientalis ke bahasa Persia mulai menggeliat.
Feyzbakhsk menutup reviewnya dengan ungkapan personal yang saya sendiri ragu apa saya telah memahaminya dengan benar. Menurutnya, terdapat barang-barang elektronik di rumah ayahnya di Iran yang di labelnya tertulis: “bagian-bagian pentingnya dibuat di Eropa”. Slogan itu menurutnya tepat menggambarkan kondisi studi Islam di Iran yang para pemainnya terus berupaya merakit dengan susah payah apa yang sudah dibuat di Eropa.
Sarah Qidwai (Karachi, Toronto) Sebagai “Diri Lain” Daneshgar
Saya melihat Qidwai berada di kutub yang sama dengan Feyzbakhsk dalam hal penerimaan atas thesis Daneshgar. Di satu titik, Qidwai merasa perjalanan hidupnya dari Pakistan, Amerika lalu Kanada sedikit banyak merefleksikan kesamaan dengan perjalanan Daneshgar dari Iran, Malaysia hingga Selandia Baru.
Qidwai tanpa ragu mengiyakan beberapa asumsi dasar penelitian Daneshgar, seperti bahwa ketegangan politik, agama dan budaya berpengaruh terhadap situasi studi Islam di akademi Muslim, dan bahwa ragam studi Islam yang dikembangkan di dalam akademi ini dapat terbagi ke dalam tiga jenis: apologetik, netral dan kritis.
Lebih jauh, Qidwai dengan baik hati menambahkan kasus-kasus lain yang melengkapi gambaran studi Islam dalam buku Daneshgar. Qidwai misalnya bercerita tentang Institute of Islamic Studies (IIS) di Universitas McGill yang didirikan oleh Wilfred Smith (1916-2000) dalam semangat menempatkan Studi Islam di dalam payung besar studi agama. Qidwai juga menambah beberapa buku bergenre tafsir ʿilmī yang ditulis di Pakistan dan belum terjangkau oleh Daneshgar. Termasuk bagaimana pemikiran Sayyid Ahmad Khan (1878-1898), seorang reformis dalam pendidikan Islam di Asia Selatan, yang merupakan obyek kajian penelitian Qidwai selama beberapa tahun belakangan, patut dibaca juga dari kacamata yang dipakai oleh Daneshgar.
Sebagaimana Feyzbakhsk, Cara Qidwai mengakhiri reviewnya termasuk unik. Ia bercerita tentang kunjungannya ke salah satu museum di Inggris baru-baru ini saat ia menemukan salinan ṣaḥīḥ al-bukhārī dari Afrika Utara tertanggal 1775 M. Qidwai mengatakan: “Jika ada representasi nyata dari pengetahuan yang hilang, itu adalah artefak di balik kotak kaca di museum tersebut. Pengetahuan yang kita ketahui sebenarnya “ada” namun berada di luar jangkauan dan dalam konteks geografis dan bahasa yang berbeda. Begitulah hubungan antara akademi Muslim dan institusi Barat. Mereka mengetahui keberadaan satu sama lain, tetapi mereka berbicara dalam dua bahasa yang berbeda dan tidak dapat dibandingkan.” Yang perlu digalakkan, menurut Qidwai, adalah keterbukaan untuk saling menyapa dan belajar satu sama lain, tanpa keinginan salah satu untuk mendominasi yang lain.
Sajjad Rizvi (Exeter) dan Dekolonisasi Studi al-Qur’an
Tidak berlebihan jika disebut bahwa review Rizvi berada di level yang berbeda dari ketiga review yang sudah dibahas sebelumnya. Secara terang-terangan, ia menganggap buku Daneshgar tidak cukup lugas mengelaborasi pengaruh kolonialisme Barat atas Timur terhadap pembentukan pola Studi Islam di keduanya. Rizvi merasakan ini sebagai faktor determinan dan sekaligus mengusulkan apa yang ia sebut sebagai dekolonisasi Studi al-Qur’an.
Ambisi besar ini membuat Rizvi harus memulai reviewnya dari penjelasan panjang lebar tentang bagaimana masing-masing dari Edward Said, Frantz Fanon, Wael Hallaq, Thomas Macaulay, hingga Joseph Lumbard memandang orientalisme, utamanya sebagai bagian dari kolonialisme Eropa. Rizvi lalu melengkapinya dengan penegasan tentang pentingnya memandang studi Islam sebagai bagian dari studi agama.
Oleh Rizvi, Daneshgar dianggap mengusulkan sebuah studi gabungan tentang Islam dan Al-Qur’an yang menyatukan ‘metode akademis terbaik’ yang digabungkan dengan ‘filologi Timur terbaik’ menuju sebuah posisi studi yang mempertahankan “pendekatan yang kritis namun penuh rasa hormat terhadap Al-Qur’an”. Jika ada satu hal yang tidak tepat dari usulan Daneshgar tersebut, menurut Rizvi, adalah bagaimana Daneshgar terlalu mudah mengaitkan dekolonisasi sebagai anti tesa dari Orientalisme yang tidak ramah, sehingga keduanya perlu dijembatani.
Padahal, kata Rizvi, Dekolonisasi bukanlah tentang mengganti satu wacana hegemonik dengan wacana hegemonik lainnya, melainkan tentang membuka, mengacaukan, dan melepaskan diri dari momok model globalisasi Barat, retorika modernitas (dan rasionalitas), dan logika kolonialitas.
Langkah pertama dekolonisasi studi Islam adalah dengan mempertimbangkan kemungkinan untuk menempa sebuah “kerangka teori” studi Islam sebagai studi agama dengan materi-materi yang berasal dari luar Barat. Kedua, mempertimbangkan keragaman posisi al-Qur’an itu sendiri, yang dapat berfungsi sebagai (1) artefak tertulis, buku, kitab suci, objek pemujaan atau pembacaan dan perenungan, kumpulan kata-kata tertulis yang memiliki struktur, susunan sintaksis, dan rangkaian makna; (2) penanda dalam jalinan intertekstual dan produksi modal budaya, intelektual, dan estetika yang kita semua alami dan konsumsi; (3) sebuah realitas primordial dan abadi yang mengungkapkan sifat alam semesta, cahaya dan panduan yang membutuhkan latihan dan pengajaran di antara manusia, dan sebagai realitas yang menjadi penengah; (4) sebuah pembacaan (qirā’ah, tartīl) dan pelafalan (tajwīd), kekuatan firman Allah yang diucapkan, menjadi dua kali lipat potensinya ketika diartikulasikan di lidah seorang imam.
Puncaknya, tandas Rizvi, dekolonisasi berbeda dengan teologisasi. Dekolonisasi mencoba untuk mencari jalan menuju sebuah studi yang terintegrasi dan reparatif yang mengakui dan mencoba untuk mengatasi batasan-batasan politik, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis mengenai keaslian dan otoritas siapa yang mendasari perspektif tersebut, tanpa kembali pada relativisme yang menyeluruh yang menganggap bahwa setiap perspektif itu sahih.
Sanggahan Daneshgar
Terhadap keempat review karyanya, Daneshgar menekankan satu argumen penting: bahwa menjadi seorang “Orientalis” dapat secara efektif mengurangi eksklusivisme dan meningkatkan inklusivisme dalam studi agama pada umumnya dan Islam pada khususnya. Menurutnya, tawaran istilah yang ia usung bukan isapan jempol belaka, karena istilah-istilah itu mewakili cara pandang dan cara kerja riset seorang peneliti. Ketika seorang Muslim mengklasifikasikan studi Islam menjadi “baik” versus “buruk”, “saleh” versus “tidak saleh”, atau “bermusuhan” versus “bersimpati” dan bukannya “akademik” versus “apologetik”, maka tidak peduli di mana pun mereka berada, apakah di negeri-negeri Islam atau di jantung kekristenan, de-kolonisasi mereka tidak akan pernah melahirkan “inklusivisme”.
Mengenai tawaran dekolonisasi studi al-Qur’an yang dilontarkan Rizvi, Daneshgar menyebut bahwa bukan topik tersebut bukanlah concern dari bukunya yang memang didesain untuk menggambarkan apa yang sedang terjadi di akademi Muslim (bahwa ada tangan tak terlihat yang mengontrol arah studi Islam), bukan apa yang sebaiknya dilakukan.
Tentang sanggahan Lien bahwa Daneshgar tidak mempertimbangkan keragaman model Studi Islam yang berkembang di daerah yang berbeda-beda, Daneshgar keukeuh bahwa perbedaan yang muncul tidak cukup untuk membatalkan tesisnya bahwa semua akademi Muslim digerakkan oleh “kekuatan irshādik” yang sangat dominan dalam mengarahkan umat Islam memandang orientalisme secara negatif. Daneshgar juga mengaku paham dengan konteks pengajaran mata kuliah orientalisme yang Lien dan banyak dosen lakukan, hanya saja Daneshgar menganggap mereka sekedar mewarisi semangat Erdward Said tentang perlunya oksidentalisme, sebuah konsep yang oleh Said sendiri dinegasikan urgensinya.
Cara Islam dipelajari secara global dan transregional, menurut Daneshgar, harus direformasi dari bawah ke atas, bukan dari atas ke bawah. Kita perlu melihat (bukan secara antropologis, melainkan secara literer) bagaimana para mahasiswa Muslim dan non-Muslim, utamanya sarjana muda yang baru muncul, mendekati Islam, dan sejauh mana mereka menjaga jarak dari para cendekiawan senior yang secara sengaja mengaburkan jasa para orientalis.
Sebagai contoh dalam studi tafsir, Daneshgar menyebut ada kesengajaan untuk melupakan peran karya-karya Ignaz Goldziher, David Margoliouth, Jane D. McAuliffe, Anthony Johns, Andrew Rippin, Peter Riddell dan lain-lain, meskipun jelas-jelas framework riset mereka diambil dan dijadikan landasan. Sayangnya, Daneshgar tidak menjelaskan kelompok yang ia sentil di sini, sehingga kita tidak cukup bisa mengidentifikasi apakah sensorship tersebut juga diberlakukan oleh akademisi Indonesia. Bahwa nama-nama di atas masih sering kita jumpai dalam jurnal-jurnal ilmiah bidang studi Islam di Indonesia, iya. Tetapi apakah model artikel yang demikian itu mewakili trend umum yang berkembang, atau sebenarnya hanya gerakan marjinal yang secara bias kita besar-besarkan?, perlu riset khusus untuk menjelaskannya.
Secara khusus terhadap argumen Lien, Daneshgar merespon: “Klaim Lien mengabaikan pentingnya kebebasan berpikir diterapkan di dunia Islam, agar tidak lagi terjadi kasus penyerangan terhadap Abdolkarim Soroush di Iran dan Nasr Hamid Abu Zayd di Mesir”. Daneshgar setuju, bahwa penerimaan studi Islam Barat, gerakan penerjemahan, dan fleksibilitas metodologis di Iran dan Indonesia jauh lebih maju dibandingkan dengan komunitas Muslim lainnya. Namun, ia masih bertanya-tanya mengapa, baik dalam konteks Indonesia maupun Iran, buku-buku seperti Quranic Studies karya Wansbrough, Zayd karya David Powers (baca review kami tentangnya di sini), atau The Death of a Prophet karya Shoemaker tidak diterjemahkan sama sekali? Sebaliknya, kedua pasar tersebut penuh dengan kajian-kajian Fazlur Rahman, Farid Esack, dan Abdullah Saeed.
Catatan Tepi
Betapapun kontroversialnya buku Daneshgar, kita di Indonesia dan Malaysia, patut berterima kasih kepadanya, karena dia dengan lantangnya menyuarakan perlunya dunia Malay-Indonesia dikaji secara serius dan dianggap juga sebagai nexus peradaban Islam. Dengan satir, Daneshgar menyindir beberapa karya dari para profesor Muslim di Barat yang mendefinisikan geografi “jantung Islam” sebagai tempat di mana orang Arab [Sunni] tinggal. Contoh yang mengejutkan adalah monograf terbaru dari El Shamsy (lihat review atas karyanya di sini) yang mengakui “Islamic classics” terbatas pada “tradisi keilmuan Arab-Islam” dan bukan tradisi Persia, India, Kepulauan Melayu, dan Afrika.
Kritik ini Daneshgar ulang lagi dalam responnya atas keempat review karyanya. Dengan lantang ia menyuarakan bahwa seruan untuk dekolonisasi studi Islam adalah mandul karena bahasa-bahasa Timur dan Asia -yang merupakan materi utama Orientalisme- jarang sekali diperhitungkan oleh para pengusung dekolonisasi!. Dengan kata lain, Daneshgar meyakini bahwa orientalisme tidak perlu diubah atas nama apapun, karena justru ia harus dilestarikan, ditingkatkan dan dilanjutkan. Pada point ini, saya tidak berlebihan jika saya menempatkan Daneshgar sebagai pembela orientalisme, seperti yang saya tulis sebagai judul review ini.
Hal lain yang menurut saya penting untuk digaris-bawahi dalam percakapan Daneshgar dan keempat reviewer-nya adalah fakta bahwa masing-masing dari mereka membawa pengalaman personalnya, membangun refleksi atas pengalaman tersebut lalu menuangkannya dalam bentuk gagasan tertulis yang terstruktur. Penonjolan “Keakuan” dalam kepengarangan ini adalah sesuatu yang bagus dan sudah selayaknya. Bagaimanapun juga, seorang pengarang terikat dan terbentuk oleh pengalaman dan lingkungan tempatnya tumbuh. Menegasikan hal-hal personal seperti ini dan mengabaikan perannya dalam penyusunan argumen tertentu, atas nama “menjadi lebih obyektif” adalah sebuah bentuk kenaifan seorang penulis, menurut saya.
Lalu, bagaimana nasib studi al-Qur’an pasca kemunculan buku Daneshgar? Terlalu dini untuk menyimpulkan efek buku ini dalam me-reset laju studi al-Qur’an di akademi Muslim yang sudah berlangsung sedemikian lama. Beberapa orang, seperti Feyzbakhsh dan Qidwai jelas terinspirasi dan akan menjadikan buku Daneshgar sebagai referensi utama dalam meneruskan pandangan sinis atas keberlangsungan Studi Islam yang akademik di dunia Muslim. Di sisi lain, orang-orang seperti Lien dan Rizvi akan berpikir seribu kali sebelum mengamini usulan-usulan Daneshgar, utamanya yang berkaitan dengan reformasi model studi Islam di akademi Muslim. Bagi keduanya, setiap orang berhak menentukan arah studi Islam yang menurutnya benar, tanpa perlu khawatir mendapat label “apologetik”.
Di manapun posisi kita terhadap karya Daneshgar, sebagai akademisi, kita bertanggung jawab untuk ikut memikirkan fondasi epistemologis dari usaha-usaha serius yang kita tengah lakukan. Hanya dengan begitu, kita bisa mengawal laju studi Islam ke arah yang konstruktif. Di atas segalanya, saya merasa model “percakapan” tertulis antara Daneshgar dan keempat reviewer-nya adalah sebuah dialog yang hidup, penuh apresiasi kritis, seru untuk ditonton dan dengan demikian perlu ditiru.
How to cite this Blog Article: Muammar Zayn Qadafy, “Membela Orientalisme (Percakapan Daneshgar dan Empat Reviewer Karyanya)”, studitafsir.com (blog), Oktober 9, 2023 (+ URL dan tanggal akses)
Silahkan hubungi kami untuk memiliki tulisan lengkap kelima sarjana yang diulas di atas.
baik, akan kami email. Selamat menikmati
Seperti biasa. Riviewnya Mas Direktur selalu berhasil mengatur tempo emosi ketika membacanya.