Kemungkinan Pengembangan Living Qur’an ke Depan: Beberapa Persoalan Mendasar

Oleh: Mu’ammar Zayn Qadafy

Siang ini, @studitafsir bersama dosen-dosen muda Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, mendiskusikan artikel Ahmad Rafiq tentang terminologi Living Qur’an (LQ) yang pernah juga di-review di StudiTafsir. Baca juga wawancara eksklusif kami dengan beliau tentang LQ di sini.

Pemantik diskusi adalah Imas Lu’ul Jannah (IJ), dan pesertanya terdiri dari Afifurrahman Sya’rani (AS), Mu’ammar Zayn Qadafy (MQ), Fadhli Lukman (FL), Ali Imron (AI), Meta Puspitasari (MP), Muhammad Arif (MA), serta Asep Nahrul Musaddad (AM). Sebagai catatan, diskusi dilakukan dalam bahasa Inggris.

MA : Bagaimana kedudukan LQ dalam Studi Qur’an secara umum, dan apa sebenarnya yang membuat Kajian LQ ini penting?

IJ : Bagaimanapun juga, kita tidak boleh lupa bahwa obyek Studi Qur’an, pada dasarnya adalah teks al-Qur’an itu sendiri. Itu alasannya mengapa studi Qur’an identik dengan kajian kepustakaan. Kajian LQ sebenarnya ingin menambahkan pola penelitian baru untuk Studi Qur’an berupa kajian lapangan. Obyek yang dikaji adalah perilaku tertentu di komunitas Muslim yang teridentifikasi sebagai bersumber dari al-Qur’an. Jadi LQ akan mengungkap bagaimana al-Qur’an dihidupkan dalam sebuah praktik keagamaan yang konkrit dan merakyat.

FL : Lebih dari itu, jika kita melihat sejarah perkembangan kajian tentang umat Islam dan praktik-praktik ritual keagamaan mereka, kita menemukan bagaimana pada awalnya lahan riset ini ditekuni oleh para sosiolog dan antropolog yang, bisa jadi, tidak memiliki background keilmuan tentang al-Qur’an yang proper. Motivasi LQ adalah menarik kembali kajian atas fenomena al-Qur’an di kehidupan sehari-hari (everyday Qur’an) dari hegemoni ilmu sosial.

AS : pertanyaan lanjutannya adalah, apa yang membuat sebuah praktik atau ritual keberislaman itu qur’anic? bukankah setiap Muslim ingin mengklaim semua perilakunya berdasarkan al-Qur’an, dan dengan demikian al-Qur’an telah menyatu (embodied) dalam diri mereka sendiri?. Lalu jika dikaitkan dengan obyek kajian Living Qur’an, apakah misalnya praktik sholat, yang ada landasan al-Qur’annya bisa dikaji dengan Living Qur’an sebagai pisau analisanya?

AM : Pandangan bahwa al-Qur’an telah menyatu dalam diri seorang Muslim dan terlembagakan dalam perilaku sehari-hari adalah pandangan penganut esensialisme yang mendewakan hakikat (essence) dalam segala hal. Menurut saya, paham ini tidak menemukan tempatnya dalam kajian LQ, utamanya karena kajian LQ justru menekankan pentingnya mengungkap turunan dari sesuatu yang esensial tersebut, yang bervariasi bentuknya sesuai dengan kreatifitas komunitas kaum muslimin sebagai makhluk berakal budi.

AS : Saya paham. Tapi saya akan mencoba memformulasikan pertanyaan saya dalam bentuk lain. Apakah sebuah praktik itu akan disebut Qur’anic jika ia disebutkan di dalam al-Qur’an? artinya, apakah label Qur’anic itu adalah legitimasi yang menjadi hak preogratif teks al-Qur’an?. Dalam antropologi Islam misalnya, ada kelompok yang memakai istilah high-tradition untuk menyebut jenis “Islam” yang berupa teks kitab suci (dalam hal ini al-Qur’an). Konsekuensinya, apa-apa yang dianggap tidak bersumber dari “teks”, akan disebut tidak islami, atau paling tidak periperi. Di sisi lain, ada kelompok tandingan yang tidak ragu-ragu memakai ‘Islam as Practice’ sebagai acuan mendefinisikan Islam, meskipun itu dianggap ‘low-tradition’. Nah, Talal Asad (lahir 1932) masuk dengan discursive tradition-nya untuk merestorasi konstruksi biner yang “kolonial” tersebut.

MP : Itu mengapa Pak Ahmad Rafiq selalu mulai dari buku Asad ketika memulai perkuliahan tentang LQ.

AM : Sebagai murid langsung dari Pak Rafiq, saya teringat beliau pernah berkata tentang sebuah teori penting di disertasinya yang belum pernah dikaji secara serius oleh pemerhati LQ di tanah air. Yang saya maksud adalah teori Axis Mundi. Dalam sejarah agama-agama, teori ini ingin menghubungkan tiga hal sekaligus: imaji tertentu, fungsi dan makna imaji tersebut, serta pengalaman-pengalaman praktis yang dihubungkan padanya. Dalam konteks LQ, ada al-Qur’an sebagai imaji yang memiliki fungsi dan makna, lalu dia terlibat secara aktif dalam pengalaman dan perilaku umat Islam masa sekarang.

IJ : Pak Rafiq berhutang pada kita untuk menjelaskan point ini lebih lanjut.

FL : Saya ingin merespon pertanyaan kedua, tentang apakah praktik sholat itu bisa dimasukkan ke dalam kajian LQ. Menurut saya, jika yang ingin diketahui adalah rukun-rukun dan syarat-syarat sholat, maka itu tidak termasuk ke dalam obyek kajian LQ. Itu domain ilmu Fiqh atau ilmu tradisional berbasis teks al-Qur’an dan hadith. Tetapi kalau yang ingin diketahui adalah pernik-pernik budaya yang berkaitan dengan praktik sholat, seperti kebiasaan memakai kostum tertentu di suatu tempat, kebiasaan melafalkan bacaan-bacaan tertentu sebelum dan sesudah sholat, maka itu termasuk kajian LQ.

MQ : Tetapi pembagian seperti ini terlalu simplistik karena kalau boleh jujur, dalam terminologi LQ yang berkembang sekarang, praktik sholat memenuhi syarat untuk dijadikan obyek kajian LQ. Ia bersumber dari teks, memiliki jalur transmisi keilmuan yang jelas, memancing diskursus di level pemahaman, dan mewujud dalam aksi yang konkrit. Itu memenuhi segala term teknis yang kita bahas sejak tadi, termasuk sifat al-Qur’an yang informatif dan performatif. Maksud saya, apakah bukan justru baik jika kajian fiqh dan LQ misalnya bercampur secara organik sehingga memunculkan penjelasan tentang ritual yang lebih antroposentris? bukankah itu sudah menjadi trend sekarang dengan munculnya istilah anthropology of fatwa, atau anthropology of ritual?.

AI : Ini memang perdebatan yang belum final, dan kita perlu mendefinisikan ulang state of art-nya LQ, termasuk memberikan batasan-batasan yang jelas apa saja yang bisa dikaji oleh mahasiswa yang ingin mengambil LQ sebagai tugas akhir, dan mana yang tidak. Termasuk yang menjadi kegelisahan saya sekarang adalah munculnya dukun-dukun berkedok agama yang memakai ayat-ayat al-Qur’an untuk tujuan membohongi pasiennya. Misalkan ada yang memakai ayat tentang Nabi Ayyub yang sakit, lalu menghentakkan kaki ke bumi untuk mengusir penyakit tertentu. Atau ayat-ayat tentang hijrah dibaca supaya pasien terbebas dari kegelisahan dan kesusahan. Ini mengkhawatirkan, utamanya jika praktik ini dianggap sebagai fenomena Living Qur’an. Kita, para akademisi, akan dianggap menyediakan landasan teoretis untuk praktik tersebut.

MQ : Kenapa kajian LQ harus mempertimbangkan sifat dari performasi teks al-Qur’an? menurut saya yang dilakukan oleh para dukun itu, apapun bentuk akhirnya, adalah obyek kajian dari LQ juga, karena sebagai sebuah kajian dia harus bebas nilai. Lagi-lagi, unsur-unsur teks-pemahaman-aksi jelas ada dalam kasus dukun tersebut.

AM : Saya setuju. Saya justru khawatir kalau kita terlalu menentukan bentuk kajian LQ dengan membatasi obyek kajiannya, kita hanya akan melanggengkan jenis ortodoksi tertentu.

AI : Bayangkan jika misalkan mahasiswa kita meneliti sebuah praktik pengobatan tertentu di daerahnya yang memakai ayat al-Qur’an tertentu. Lalu di kemudian hari terungkap bahwa itu adalah sebuah kebohongan (seperti yang belakangan diungkap oleh Pesulap Merah yang sedang viral itu), pasti mahasiswa tersebut akan di-bully karena dianggap meng-endorse sebuah praktik yang ternyata keliru.

IJ : Saya mencoba menengahi. Agaknya memang kajian LQ sekarang masih memiliki dua sisi. Di yang pertama, ada sebagian dari kita yang menginginkannya tunduk pada kaidah kajian ilmiah yang netral, di sisi lain, tidak bisa dipungkiri kalau hasil akhir kajian LQ akan dibaca oleh masyarakat umum dan menjadi tanggung jawab akademik kita jika ia disalah-pahami.

MQ : Saya punya teori yang masih butuh pengembangan lebih lanjut. Kalau dipikir-pikir, pak Rafiq memunculkan istilah fungsi informative dan performative dari al-Qur’an. nah, dua kata ini berasal dari kata dasar form, formation, formative. Ada dua term lain untuk kata dasar ini, yaitu conformative yang secara sederhana berarti akomodatif dan transformative. Maksud saya, term-term ini barangkali bisa membingkai kasus yang disebutkan oleh Pak Ali tadi. Jadi al-Qur’an bersifat conformative dalam arti ia bisa mengakomodasi ragam pemahaman atasnya yang bermacam-macam tersebut, terlepas apakah mereka sesuai dengan ortodoksi atau tidak. Di sisi lain, al-Qur’an bersifat transformative ketika ia secara aktif membentuk dan barangkali merubah jenis ritual tertentu ke ritual tertentu. Dalam dua sifat ini, al-Qur’an adalah subyek aktif. The living, bukan the lived.

MA : Kalau dalam kajian filsafat, istilah informatif dan performatif memang sudah menjadi satu paket yang biasa dikaitkan. Yang pertama tidak melibatkan keberadaan manusia sebagai pelaku aksi, sementara yang kedua justru menjadikan keberadaan aktor ini sebagai syarat mutlak.

FL : Tetapi ingat, Pak Rofiq mengambil dua istilah itu (informative dan performative) dari teori tentang teks sucinya Sam D. Gill, bukan berdasar dari analisa kata dalam kamus. Butuh penjelasan yang lebih filosofis untuk juga memasukkan unsur conformative dan transformative untuk mensifati al-Qur’an, apalagi jika dikaitkan dengan kajian LQ.

MQ : Saya setuju, tapi pada intinya teori apapun tentunya terbuka untuk pengembangan lebih lanjut. Saya punya pertanyaan lanjutan, yaitu mengenai wajib ada atau tidaknya penjelasan mengenai transmisi pengetahuan dalam fenomena Living Qur’an. Kalau diperhatikan, nampaknya ada dua trend yang berkembang belakangan. Di satu sisi, Pak Rafiq, Mbak Imas (sebagai pemantik diskusi), Almarhum Prof. Suryadi, termasuk Prof. Irfan Helmy dari Salatiga, mewajibkan adanya transmisi pengetahuan ini. Artinya, seorang peneliti harus bisa mengungkap apakah praktik tertentu benar-benar berkaitan dengan teks al-Qur’an tertentu. Siapa yang memberikan pemahaman itu kepada pelaku tradisi, bagaimana, kapan dan di mana pemahaman itu diajarkan, dan seterusnya. Di sisi lain, orang-orang seperti Almarhum Pak Fatih dan dosen kita Pak Mansur tidak mensyaratkan keterlacakan transmisi pengetahuan ini, lebih-lebih karena seringkali transmisi ini sulit dilacak dalam penelitian lapangan.

IJ : Saya pikir transmisi ini wajib dijelaskan, karena itu akan membedakan sebuah riset LQ dengan riset LQ lain. Kita tidak ingin penelitian LQ ini menjadi penelitian deduktif yang hanya memindahkan satu tema dari tempat satu ke tempat lain. Justru penjelasan mengenai transmisi ini adalah atraksi utama dari analisa yang dimunculkan dalam riset berbasis kajian LQ. Dan perlu diingat, transmisi ini tidak harus bersifat langsung dan jelas, karena seperti yang sudah disinggung, terkadang sulit menemukan koneksi yang gamblang antara tradisi yang berlaku di masyarakat dengan teks yang diduga mendasarinya. Yang juga bisa seorang peneliti lakukan adalah membuat hubungan antara sebuah fenomena LQ dengan fenomena LQ yang lain baik yang berada di wilayah yang dekat secara geografis dan kultural, maupun yang jauh sekalipun. Termasuk jika ada praktik LQ yang terekam dalam sejarah, misalkan beberapa tradisi pembacaan tertentu yang bisa dilacak dalam kitab-kitab tafsir, atau kitab-kitab ber-genre Fadhāʾil al-Qurʾān.

AM : Sekadar menambahi, ada genre literatur lain yang lebih tepat sebenarnya untuk melacak geneaologi LQ. Bukan dari kitab-kitab Fadhāʾil al-Qurʾān, melainkan dari kitab-kitab Khawāsh al-Qurʾān. al-Bunnī dan al-Ghazalī menulis kitab seperti ini. Sayang banyak yang belum di-taḥqīq, dan dipublikasikan.

MQ : Menarik, karena saya sendiri memakai kitab-kitab Fadhāʾil al-Qurʾān untuk menjadi awalan penelusuran tentang sumber awal tradisi perapalan ayat al-Qur’an untuk perlindungan, di artikel yang terbit di Studia Islamika beberapa waktu silam.

FL : Menambahi penjelasan Imas tadi. Jadi misalkan ada beberapa proposal riset tentang tradisi khataman al-Qur’an. Maka dosen pembimbing punya kewajiban menjaga agar jangan sampai narasi analitisnya sama, dan hanya lokusnya saja yang berbeda. Idealnya, semakin banyak riset tentang tradisi khataman yang sifatnya lokal, maka wujud LQ dari wacana khataman secara umum akan semakin kompleks.

MP : Ada problem lain yang perlu digaris-bawahi untuk saat ini?

MQ : Saya punya satu, masih tentang term LQ. Sekilas bagi saya, pemakaian istilah Living Qur’an untuk menjelaskan sebuah fenomena kontemporer mengesankan bahwa seakan-akan faktor utama di balik terlembagakannya fenomena itu adalah al-Qur’an itu sendiri, sehingga ia seperti menegasikan proses kreatif (baik hermeneutis maupun non-hermeneutis) yang menjembatani teks suci dengan fenomena tersebut. Maka menjadi masuk akal, mengapa Pak Rafiq perlu berakrobat sedemikian rupa untuk menjelaskan proses transmisi dan transformasi, sakralitas dan profanitas teks, termasuk sifat al-Qur’an yang informatif dan performatif tadi. Maksud saya, mengapa tidak disimplifikasi saja, seperti menyebut bahwa fenomena itu adalah the living tafsīr, atau the living ijmāʿ atau the living ijtihād?, dengan demikian kita tidak perlu bersusah payah merangkak dari problem-problem epistemologis yang sampai sekarang masih menimbulkan perdebatan. Juga, istilah LQ dan LH (Living Hadith) kalau disebut secara random, mengingatkan saya pada prinsip gerakan modernis kembali ke al-Qur’an dan Sunnah, meskipun yang menarik, saya pikir kelompok tradisionalis adalah yang paling merayakan diskursus LQ ini, karena to some extent, kajian LQ seperti memberikan justifikasi atas tradisi kelompok mereka.

FL : Justru karena LQ itu rumit, sebagai wacana ia akan semakin terus berkembang. Saya pikir karena LQ ini masih dalam masa formatifnya, belum perlu ia didekonstruksi sedemikian rupa.

IJ : Jujur, saya sendiri sebenarnya tidak terlalu suka untuk menyematkan atribut living pada apapun, apakah itu living Islam, living Qur’an, atau living tafsir. Kembali ke diskusi kita di awal, apa sebenarnya yang kita kehendaki dari memakai istilah living. Apakah untuk membuat kajian al-Qur’an lebih bernuansa antropologis-sosiologis agar tidak ketinggalan zaman, ataukah hanya untuk membedakan kajian atas lokalitas Islam di Indonesia dari lokalitas di Islam di belahan dunia lain. Termasuk buku the walking Qur’an yang akan kita terjemahkan beberapa bulan ke depan, saya ragu apa penulisnya memahami term the walking Qur’an sama kompleksnya dengan pemahaman kita yang sedikit banyak sudah dibentuk dari diskusi mengenai living Qur’an yang belum juga nampak akan berakhir dalam waktu dekat.

AS, MQ, FL, AI, MP, MA, AM : . . . . . . . . . . . .!!!!????%%$§

How to cite this Article: Mu’ammar Zayn Qadafy, “Kemungkinan Pengembangan Living Qur’an ke Depan: Beberapa Persoalan Mendasar”, studitafsir.com (blog), Agustus, 16, 2022 (+ URL dan tanggal akses).

Share It :
Studi Tafsir
Studi Tafsir
Articles: 30

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Unknown